Harta Karun Jenghis Khan (Jilid ke-3)

Kembali kepala penjahat itu tertawa bergelak. “Engkau seorang wanita yang cantik sekali, untung bertemu denganku sehingga engkau akan mati tanpa ternoda. Kalau engkau bertemu dengan Pat-pi Mo-ko, jangan harap dapat mati seenak itu, tentu engkau akan dipermainkannya sampai rusak binasa. Ha-ha-ha! Hayo serbu…!” Dia memberi aba-aba lagi. Puluhan orang itu memperketat kurungan dan mereka mulai mendekat dengan senjata ditodongkan.

Tentu saja ancaman maut yang bagi orang lain tentu akan menimbulkan kengerian itu, bahkan nampak menggelikan bagi pasangan pendekar yang memiliki kepandaian amat tinggi itu. Thian Sin membuang sikapnya yang pura-pura takut tadi dan diapun tersenyum.

“Baiklah, kalian mencari penyakit sendiri!” Dia dan Kim Hong masih berdiri dengan sikap seenaknya saja, sama sekali tidak memasang kuda-kuda seperti biasanya ahli silat kalau menghadapi ancaman lawan menghadapi ancaman begitu banyak orang. Mereka hanya saling pandang dan keduanya mengerti apa yang mereka harus kakukan, yaitu menghajar para pengepung itu habis-habisan tanpa melakukan pembunuhan.

Beberapa tahun yang lalu, Ceng Thian Sin terkenal dengan julukan Pendekar Sadis. Dari julukannya ini saja mudah diduga bahwa dia mempunya hati yang amat kejam terhadap para penjahat. Dia amat membenci para penjahat sehingga setiap kali bentrok dengan tokoh-tokoh penjahat, dia bukan hanya menurunkan tangan sakti membunuhnya, akan tetapi menyiksanya terlebih dahulu dengan cara-cara yang amat sadis. Dia memperoleh kenikmatan dengan menyiksa orang-orang yang dianggapnya jahat itu sebagai peluapan rasa dendamnya yang amat besar terhadap para penjahat. Semenjak kccil, dia telah mengalami banyak kesengsaraan hidup sebagai akibat dari perbuatan para penjahat sehingga dia menaruh dendam yang amat hebat. Adapan Toan Kim Hong, wanita muda yang cantik jelita itu, tadinya pernah menyamar sebagai seorang nenek yang berjuluk Lam-sin (Malaikat Selatan) yang merupakan seorang di antara empat datuk kaum sesat. Iapun amat ganas dan kejam, membunuh lawan dengan tangan dingin (baca tentang Pendekar Sadis dan Lam-sin dalam cerita Pendekar Sadis). Akan tetapi, semenjak keduanya saling bertemu, saling jatub cinta, kemudian bersama-sama menghadapi para pendekar sakti, sampai akhirnya mereka berhadapan dengan para pendekar Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang mereka cinta, puja dan takuti, keduanya telah berubah. Mereka berdua kini tinggal di Pulau Teratai Merah dan tidak lagi menuruti hati yang ingin membasmi para penjahat. Bahkan keduanya berjanji bahwa mereka akan menghadapi penjahat-penjahat dengan keadilan, bukan lagi dengan kekejaman. Karena inilah maka sekarang, biarpun mereka diancam oleh para penjahat dan bahkan dicurangi, mereka yang saling pandang itu maklum akan isi hati masing-masing, yaitu bahwa mereka masih ingat untuk tidak membunuh orang walaupun mereka harus menghajar kumpulan penjahat yang kejam itu. Karena jumlah mereka yang terlalu banyak dan tidak mungkin tiga puluh orang itu maju serentak melakukan serangan, maka kini begitu gerombolan itu bergerak, hanya ada delapan orang yang dapat maju menggerakkan senjata mereka menyerang Thian Sin dan Kim Hong yang kelihatan masih bersikap enak-enakan dan bagi para penjahat itu dianggap sebagai makanan lunak. Akan tetapi, begitu mereka delapan orang itu maju, tiba-tiba saja nampak dua bayangan berkelebatan dan delapan orang itu merasa seperti disambar halilintar! Delapan orang itu sendiri tidak tahu apa yang telah terjadi dan selamanya mereka itu takkan sanggup menceritakan apa yang telah menimpa mereka. Tadinya mereka dengan ganas menyerbu dan menyerang pemuda dan gadis itu, akan tetapi tiba-tiba kedua orang muda itu lenyap dan sebagai gantinya, mereka hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu dunia tiba-tiba menjadi gelap bagi mereka! Ketika mereka siuman kembali, mereka telah mendapatkim tubuh mereka malang melintang, senjata mereka entah terbang ke mana dan tubuh mereka luka-luka, ada yang benjol-benjol kepalanya, ada yang patah tulang lengannya, ada pula yang memar-memar badannya, ada yang pingsan ada pula yang hanya nanar saja. Pendeknya, secara aneh dan dalam waktu segebrakan saja, delapan orang itu telah terlempar ke sana sini dan terbanting tanpa dapat bangun kembali! Bahkan di antara mereka ada yang tidak sempat lagi berteriak karena sudah keburu tidak sadar.

Melihat ini, kawanan penjahat itu terkejut dan marah sekali. Mereka berebut maju dan mengeroyok dengan buas. Akan tetapi, mereka itu seperti sekumpulan nyamuk menyerbu api lilin saja, karena siapa yang maju lebih dulu tentu terkapar atau terlempar, terbanting keras, berteriak kesakitan den berobohanlah para pengeroyok itu malang melintang, senjata mereka terlempar ke empat penjuru, bahkan ada yang patah-patah bertemu dengan lengan dua orang pendekar muda itu. Menyaksikan kehebatan dua orang muda itu, tentu saja si gendut Ban Lok merasa terkejut den gentar. Boleh jadi dia mendapatkan nama besar dari kepandaiannya atau juga dari kekejamannya, dan julukannya adalah Liong-kut-pian karena senjata ruyungnya itu memang hebat. Akan tetapi bagaimanapun juga, dia hanyalah seorang yang kejam dan orang kejam itu biasanya berwatak pengecut dan penakut. Hanya penakut sajalah yang dapat bersikap kejam, karena seorang penakut itu selalu khawatir akan keselamaten dirinya maka dia condong untuk meniadakan ancaman bagi dirinya. Biarpun tidak akan diakuinya sendiri, namun jelas bahwa di sudut hatinya, seorang yang kejam selalu dibayangi oleh rasa takut yang hebat. Demikian pula halnya dengan Liong-kut-pian Ban Lok ini. Begitu melihat bahwa keadaannya tidak aman baginya, hatinya merasa gentar den lupalah dia akan kedudukannya sebagai seorang kepala atau pemimpin. Kiranya keganasan dan kekejamannya itu hanya menjadi selimut dari kepengecutannya, dan semua keberaniannya hanya timbul karena dia merasa ada banyak anak buah di belakangnya. Biasanya memang demikianlah. Segerombolan orang akan menjadi nekat den berani, akan tetapi kalau seseorang terpisah dari kelompoknya, maka keberaniannyapun akan lenyap.

Ban Lok yang sudah merasa berhasil mengantongi kunci emas, ketika melihat betapa mudahnya sepasang pendekar muda itu merobohkan anak buahnya, lalu mengambil langkah seribu, melarikan diri dari situ untuk menyelamatkan diri dan kunci emas. Melihat ini, Kim Hong berkata kepada kekasihnya. “Thian Sin, kauhajar semua anjing ini dan aku akan mencegah anjing besar melarikan diri!” Tanpa menanti jawaban karena ia sudah tahu bahwa kekasihnya akan menyetujuinya, sekali menggerakkan tubuh, Kim Hong telah meloncat dan melayang dengan kecepatan seekor burung walet terbang, mengejar Ban Lok.

“Ehh…?” Kepala penjahat yang gendut ini terbelalak ketika melihat berkelebatnya bayangan orang dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang gadis cantik jelita, berdiri dengan santainya, bertolak pinggang dan tersenyum seperti seorang guru menghadapi seorang murid taman kanak-kanak yang bandel! Lebih terkejut lagi hati kepala garong ini ketika mengenal bahwa gadis ini bukan lain adalah gadis yang dikeroyok tadi. Dia menoleh dan melihat betapa sisa anak buahnya masih mengeroyok si pemuda. Maklumlah dia bahwa dia harus berkelahi mati-matian untuk mempertahankan kunci emas itu. Maka tangan kanannya moraba ke belakang dan ruyung itu telah berada di tangannya. Ruyung yang mengangkat namanya tinggi-tinggi itu dilintangkan di depan dada. Ruyung itu terbuat dari pada baja dan kelihatan amat berat. Agaknya bentuk ruyung yang diukir seperti ekor ular itulah yang membuat ruyung itu dinamakan Liong-kut-pian (Ruyung Tulang Naga), jadi bukanlah tulang naga atau ular sungguh-sungguh.

“Minggir kalau tidak ingin hancur kepalamu!” bentaknya sambil mengamang-amangkan ruyung yang berat itu.

Kim Hong tersenyum mengejek, senyum yang manis sekali akan tetapi kalau orang sudah lama mengenal wanita jelita ini, tentu akan bergidik karena senyum mengejek itu adalah senyuman khas yang menyembunyikan ancaman hebat! “Hati-hatilah main-main dengan ruyung berat itu. Jangan-jangan kepalamu sendiri yang akan terpukul dan pecah. Lebih baik kembalikan kunci emas tadi dan engkau boleh pergi sebagai anak yang baik.” Ucapannya sungguh seperti ucapan seorang guru menasihati seorang anak kecil yang nakal. Tentu saja Liong-kut-pian Ban Lok menjadi marah sekali. Dia adalah seorang kepala penjahat yang sudah biasa merampok dan menodong selama puluhan tahun. Kini usianya sudah lima puluh tahun lebih dan dia diperlakukan sebagai anak kecil oleh seorang gadis yang masih begitu muda.

“Bocah lancang bosan hidup!” Bentaknya dan ruyungnya sudah menyambar dengan dahsyat. Melihat gerakan ini, Kim Hong maklum bahwa si gundul ini memang memiliki tenaga besar. Akan tetapi hanya tenaga besar itu sajalah modalnya, di samping kenekatan karena gerakannya tidak menunjukkan ilmu silat yang tinggi. Maka dengan mudahnya ia mengelak hanya dengan menarik kepala ke belakang saja. Ruyung itu lewat di atas kepalanya, membawa suara berdesir dan menimbulkan angin yang kuat sehingga rambut di kepala Kim Hong berkibar dibuatnya.

Ban Lok menjadi semakin penasaran. Dia mengeluarkan suara geraman nyaring dan menggunakan jurus Hun-in-toan-san (Awan Melintang Memutuskan Gunung). Jurus ini dilakukan dengan gerakan ruyung dari atas menyambar dengan gerakan menyerong ke arah leher lawan. Ketika lawan mengelak, ruyung itu membalik dan menyambar pula ke arah dada, dilanjutkan sambaran ke arah perut. Serangan beruntun ini merupakan perkembangan jurus Hun-in-toan-san. Namun, dengan mudah dan indah, seperti gerakan seorang anak manis bermain loncat tali dengan lincah dan cekatan, Kim Hong berhasil menghindarkan diri dari sambaran ruyung yang bertubi-tubi itu. Ban Lok melanjutlan jurus Hun-in-toan-san yang gagal itu dengan jurus Sin-liong-tiauw-wi (Naga Sakti Menyabetkan Ekor), tubuhnya memutar dan membalik, ruyungnya mendahului gerakannya sehingga ruyung itu seperti ekor naga yang membalik dan menyambar amat ganasnya. Melihat jurus yang selain cepat kuat juga mematikan ini, Kim Hong mengerutkan alisnya. Kepala penjahat ini terlalu kejam, pikirnya dan ia membayangkan, entah sudah berapa ratus nyawa orang yang tidak berdosa melayang oleh ruyung ini. Melihat sambaran ruyung yang diayun dari belakang dengan gerakan tubuh memutar itu ke arah pinggangnya, Kim Hong mengangkat kaki kirinya dan menotol dengan ujung kakinya ke arah ujung ruyung! Sungguh merupakan perbuatan yang amat berani karena meleset sedikit saja, tentu tulang kakinya akan dihajar ruyung sampai remuk-remuk! Akan tetapi, ternyata ujung sepatunya dapat mendorong dengan tepat sehingga ruyung itu menyeleweng gerakan meluncurnya dan membuat pemegangnya kehilangan keseimbangan dirinya. Ban Lok terkejut dan marah. Tubuhnya terbawa oleh luncuran ruyung sehingga dia terhuyung. Akan tetapi, kepala penjahat ini sengaja membuang diri ke bawah dan menggelundung, tubuhnya yang gendut itu menggelinding seperti bola dan ternyata kepala penjahat ini telah melanjutkan dengai jurus yang dinamakan Thi-gu-keng-te (Kerbau Besi Membajak Tanah). Tubuhnya yang menggelinding ini menyerbu ke arah lawan dan tiba-tiba saja dia meloncat dan menyeruduk dengan ruyungnya ke arat perut Kim Hong. Gerakan ini dahsyat dan berbahaya bukan main. Akan tetapi kini Kim Hong telah mengambil keputusan untuk merobohkan Ban Lok. Ia herdiri tegak dan seolah-olah tidak dapat mengelak lagi, akan tetapi diam-diam ia menanamkan tenaga sin-kang kepada kedua kakinya. Lalu tangan kirinya membuat gerakan dari samping, menangkis ruyung dan melanjutkan dengan dorongan tangan kanan ke arah ruyung. Sebetulnya, gadis sakti itu bukan menangkis, melainkan memapaki ruyung dengan telapak tangannya, seperti menempel atau menangkap, lalu melanjutkannya dengan mengalihkan tenaga luncuran ruyung itu membuat gerakan menyerong dan membalik. Tenaga luncuran oleh tangan Ban Lok itu masih kuat, kini ditambah tenaga dorongan tangan kanan Kim Hong, melayang ke arah kepala Ban Lok sendiri.

“Prakk…!” Ban Lok mengeluarkan suara mengorok dari lehernya dan tubuhnya terpelanting ke kanan, roboh dengan kepala berlumuran darah, kepala yang sudah retak-retak oleh hantaman ruyungnya sendiri! Kim Hong berdiri dan bertolak pinggang, memandang ke arah korbannya, lalu menarik napas panjang.

“Hemm, kau membunuhnya juga?” terdengar suara orang bertanya.

Kim Hong menoleh dan melihat bahwa kekasihnya juga sudah selesai merobohkan semua orang yang mengeroyoknya tanpa membunuh seorangpun di antara mereka. Tiga puluh lebih anak buah penjahat yang menggeletak malang melintang itu, hanya dapat memandang kepada sepasang pendekar itu dengan mata terbelalak penuh ketakjuban. Tak mereka sangka sama sekali bahwa mereka semua roboh seperti itu, bahkan kepala mereka telah tewas! Kini baru terbuka mata mereka bahwa mereka telah kecelik, menabrak batu karang.

“Aku tidak membunuhnya, melainkan dia yang hendak membunuhku dan salah pukul sehingga ruyungnya memukul kepalanya sendiri!” jawab Kim Hong setengah berkelakar. Thian Sin mengerti akan isi hati kekasihnya. Dia menarik napas panjang.

“Dia manusia licik den jahat. Entah sudah berapa banyak orang dibunuhnya den membiarkan orang seperti dia tinggal hidup, berarti memperbanyak jumlah calon korban saja. Engkau benar Kim Hong, sudah sepatutnya dia dibunuh dan anak buahnya diberi hajaran seperti ini.”

Thian Sin lalu menghampiri tubuh si gendut yang sudah menjadi mayat itu, membalikkan tubuh menelungkup itu dengan kakinya, lalu mencari dan mengambil kembali kunci emas dari saku baju kepala penjahat itu. Dia sengaja mengangkat kunci emas itu tinggi-tinggi agar nampak oleh para anak buah penjahat yang rebah malang melintang karena dia ingin mempergunakan kunci itu untuk memancing semua pihak yang tersangkut dalam perkara harta karun yang peta dan kuncinya ditemukan oleh keluarga petani Ciang yang sial itu.

***

Kota raja Peking nampak tenang-tenang saja, penduduknya nampak hidup makmur dan perdagangan berjalan dengan lancar dan ramai. Akan tetapi, keadaan di kota raja ini sesungguhnya tidak dapat dipakai sebagai ukuran keadaan negara pada waktu itu. Walaupun kerajaan di bawah pimpinan Kaisar Hung Chih, yaitu kaisar yang menggantikan Kaisar Ceng Hwa, masih cukup kuat dan tidak lagi terjadi pemberontakan-pemberontakan, akan tetapi kejahatan-kejahatan merajalela den agaknya pemerintah tidak cukup tangguh untuk dapat mengatasi kekacauan-kekacauan kecil yang cukup membuat rakyat menderita ini. Tentu saja semua kekacauan itu terjadi di luar kota raja, karena kota raja sendiri di mana kaisar dan para pembesar tinggi berada, selalu terjaga kuat dan dibersihkan dari pengacauan. Tentu saja hal ini bukan berarti bahwa tidak ada kejahatan terjadi di kota raja. Banyak masih. Bahkan penjahat-penjahat berkaliber besar juga berpusat di kota raja. Hanya saja, para tokoh penjahat itu tidak berani melakukan kejahatan di kota raja secara menyolok dan mereka itu lebih banyak beroperasi di luar kota raja.

Kota raja yang ramai ini menyimpan banyak rahasia-rahasia besar. Pernah menyaksikan jatuh bangunnya para kaisar dan dinasti yang berganti-ganti saling memperebutkan kekuasaan. Menjadi saksi bisu pula dari peristiwa-peristiwa kejahatan yang menjadi rahasia selamanya bagi penduduknya. Di kota raja ini pula tersimpan rahasia hilangnya pemuda dusun Ciang Kim Su yang datang ke kota raja membawa peta rahasia yang ditemukannya bersama ayahnya di ladang mereka. Apakah yang telah terjadi setahun yang lain ketika pemuda itu datang berkunjung ke kota raja? Benarkah seperti yang diceritakan oleh Liong-kut-pian Ban Lok kepada Pendekar Sadis dan Lam-sin itu?

Pertanyaan-pertanyaan itu mengaduk di dalam otak Thian Sin dan Kim Hong ketika pada suatu pagi mereka memasuki kota raja yang ramai. Beberapa tahun yang lalu, sebagai Pendekar Sadis, Thian Sin pernah menggegerkan kota raja. Akan tetapi ketika itu, hanya namanya saja dikenal orang sebagai Pendekar Sadis, akan tetapi jarang ada orang pernah melihatnya. Maka sekarangpun dengan tenang dia memasuki kota raja tanpa khawatir akan dikenal orang sebagai Pendekar Sadis. Betapapun juga, ketika dia bersama Kim Hong melewati pintu gerbang istana yang megah, dari jauh jantungnya berdebar tegang. Dia teringat akan mendiang ayahnya, yaitu Ceng Han Houw, yang masih keturunan kaisar yang menempati istana itu. Darahnya sendiripun yang mengalir di tubuhnya masih darah keluarga istana ini!

Kim Hong agaknya dapat membaca isi hati kekasihnya ketika melibat sinar mata kekasihnya memandang dengan termenung ke arah istana ketika mereka lewat perlahan.

“Ingin menjenguk keluarga di dalam?”

Thian Sin terkejut, menengok, saling pandang. Lalu tersenyum pahit dan balas bertanya. “Kaukira aku haus akan kedudukan dan kehormatan kosong itu?”

Kim Hong sadar bahwa pertanyaannya tadi menyinggung, maka iapun cepat berkata menutupi rasa sesalnya. “Maksudku, kalau engkau ingin melihat-lihat ke dalam istana, apa salahnya kalau malam nanti kita masuk? Sudah sampai di kota raja, rugi kalau tidak melihat-lihat dalam istana. Kau kan tidak takut?”

“Hushh, siapa takut? Hanya kau lupa bahwa yang membawa kita ke kota raja bukan untuk pelesir. Sebelum urusan ini selesai, kita main-main di istana dan ketahuan, bukankah itu akan menggagalkan usaha kita?”

Kim Hong mengangguk-angguk, menyadari kesalahannya. “Mari kita cari orang bernama Su Tong Hak itu.”

“Mudah-mudahan dia masih hidup,” kata Thian Sin. “Dialah satu-satunya orang yang dapat kita harapkan untuk menemukan peta.”

“Kaupikir dia…”

“Belum tentu. Akan tetapi kita tahu bahwa urusan ini telah tercium oleh gerombolan penjahat. Siapa tahu diapun sudah dibereskan dan petanya dirampas.”

“Kalau memang demikian, masih ada jalan. Kita datangi Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng!” kata Kim Hong penasaran.

“Ssttt, jangan keras-keras. Nama itu amat terkenal di sini. Sebaiknya kita mencari kamar rumah penginapan lebih dahulu, untuk menaruh pakaian dan menjadi tempat peristirahatan kita.”

Keduanya memilih dan mendapatkan sebuah kamar yang cukup bersih dan besar di rumah penginapan Hi-lok-li-koan. Setelah menaruh buntalan pakaian di kamar itu, mereka lalu keluar dari rumah penginapan dan mencari Su Tong Hak yang telah mereka ketahui nama dan alamatnya dari seorang anak buah mendiang Ban Lok.

Orang yang mereka cari itu, Su Tong Hak, adik ipar dari mendiang petani Ciang Gun, ternyata telah berhasil dalam usahanya dan kini menjadi seorang saudagar hasil bumi yang cukup kaya di kota raja. Tokonya cukup besar dan ketika pegawai toko melihat tamu suami isteri yang tampan dan jelita, juga yang berpakaian rapi dan mewah, dengan mudah tamu yang dianggap penting dan hendak berdagang ini dipersilahkan masuk ke dalam ruangan tamu dan diterima sendiri oleh majikan toko.

Laki-laki itu berusia empat puluh tahun lebih, bertubuh tinggi tegap dan biarpun di wajahnya masih ada bekas membayang kekerasan yang merupakan garis-garis mendalam seorang petani yang biasa hidup sukar, namun pakaian dan sikapnya menyelimuti bekas ini dan dia lebih patut menjadi tuan Su Tong Hak saudagar yang cukup berhasil di kota raja. Wajahnya masih menunjukkan keterbukaan seorang petani, akan tetapi sinar matanya sudah penuh kecerdikan seperti sinar mata para pedagang yang pandai bersandiwara.

Setelah saling memberi hormat, pedagang itu berkata, “Saya Su Tong Hak, dan siapakah ji-wi dan datang dari mana? Kabar baik apakah yang ji-wi bawa untuk kami?” Sikapnya ramah seperti biasa seorang pedagang.

“Paman Su Tong Hak, kami datang untuk mencari seorang bernama Ciang Kim Su dari dusun Ciu-bun-tang yang setahun yang lalu datang ke sini mencari paman. Di manakah adanya Ciang Kim Su sekarang?” Pertanyaan ini diajukan oleh Thian Sin dengan tiba-tiba dan dia bersama Kim Hong lalu menatap wajah tuan rumah dengan sinar mata tajam penuh selidik.

Akan tetapi pedagang itu ternyata adalah seorang yang mampu menguasai perasaannya. Kekagetan hatinya mendengar ucapan tamunya itu hanya nampak pada sinar matanya yang agak terbelalak, akan tetapi sikapnya tetap tenang, bahkan kini diapun memandang tamunya dengan alis berkerut dan pandang mata curiga.

“Hemm, siapakah ji-wi sebenarnya? Ciang Kim Su adalah keponakanku, anak dari kakakku perempuan. Memang pernah dia datang ke sini, akan tetapi… sebelum kuceritakan tentang dia, harap ji-wi suka memberi tahu apa keperluan ji-wi mencari keponakanku itu?”

“Kami berdua adalah utusan dari Ciang Gun, ayah Ciang Kim Su, untuk mencarinya di sini.”

Pedagang itu masih mengerutkan alisnya. “Nama ji-wi?”

“Aku Ceng Thian Sin dan ia adalah Toan Kim Hong.”

“Hemm, aku tidak pernah mendengar nama itu dan tidak pernah mengenal ji-wi. Mustahil kalau kakak iparku Ciang Gun menyuruh ji-wi, karena ji-wi jelas bukanlah orang-orang dusun sedangkan kakakku…”

“Masih tidak percayakah paman kalau melihat ini?” Thian Sin sengaja mengeluarkan kunci emasnya, tentu saja yang palsu.

“Apa… apa itu…?” Su Tong Hak bertanya, akan tetapi jelas bahwa dia terkejut sekali dan pura-pura tidak tahu karena matanya terbelalak dan wajahnya berobah ketika dia melihat kunci emas itu.

“Tentu paman pernah mendengar tentang ini. Kunci emas yang ada hubungannya dengan peta yang dibawa Ciang Kim Su. Nah, percayakah sekarang paman bahwa kami diutus oleh paman Ciang Gun? Ceritakanlah di mana adanya Ciang Kim Su.”

“Baik, baik… akan tetapi aku tidak tahu ke mana perginya anak itu. Baiklah kuceritakan dari awal, setahun yang lalu…” Pedagang ini setelah melihat kunci emas, lenyap keangkuhannya dan agaknya ingin sekali bekerja sama, maka diapun lalu menceritakan penuturannya yang lain lagi dengan penuturan yang pernah didengar oleh dua orang pendekar itu dari mendiang Ban Lok. Cerita dari pedagang she Su ini lebih lengkap.

Menurut cerita itu, setahun lebih yang lalu Ciang Kim Su memang datang ke kota raja dan berhasil bertemu dengan pamannya, adik ibunya, yang telah menjadi seorang saudagar hasil bumi yang cukup berhasil. Setelah Kim Su menceritakan pamannya tentang dia dan ayahnya menemukan peta rahasia dan ingin mencari orang pandai yang dapat menerangkan isi peta itu, Su Tong Hak tertarik sekali.

“Untuk dapat menterjemahkan tulisan kuno itu, kita harus dapat bantuan seorang sasterawan yang pandai,” kata Su Tong Hak. “Kebetulan sekali aku tahu akan seorang sasterawan tua yang kabarnya ahli dalam huruf-huruf kuno. Mari kita kunjungi Louw Siucai.”

Louw Siucai adalah seorang siucai (gelar lulusan ujian negeri) yang miskin dan usianya sudah enam puluh tahun. Dia hidup menyendiri di tepi kota raja yang sunyi, tanpa keluarga karena isterinya telah meninggal dunia tanpa anak. Hidupnya amat sederhana dan setiap hari dia hanya termenung, baca kitab, menulis sajak dan mabuk-mabukan.

Ketika Su Tong Hak dan keponakannya datang berkunjung dan memperlihatkan peta itu sambil mohon pertolongan si sasterawan untuk menterjemahkan, Louw siucai meneliti peta itu dengan penuh perhatian. Wajahnya yang kurus itu berseri dan matanya bersinar-sinar.

“Ya Tuhan…!” Dia berseru. “Kalian telah menemukan sebuah benda yang tak ternilai harganya! Peta ini sudah ada seribu tahun usianya dan di sini terdapat tulisan tangan Sang Raja Besar Jenghis Khan!” Bagi sasterawan tua itu, yang dianggap tak ternilai harganya adalah kekunoan peta dan terutama sekali tulisan tangan Raja Besar Mongol yang pertama itu, pendiri dari dinasti Goan-tiauw.

AKAN tetapi, Su Tong Hak tidak tertanik akan kekunoan benda itu. “Apa isinya? Bagaimana bunyinya dan apa artinya peta ini?”

Mendengar pertanyaan yang membayangkan kehausan akan keuntungan besar ini, si sasterawan tua mengerutkan alisnya, memandang tajam lalu menarik napas panjang, kemudian menjawab dengan sebuah pertanyaan pula, “Dari manakah ji-wi bisa memperoleh benda yang amat langka ini?”

“Louw siucai, kedatangan kami ini adalah untuk minta bantuanmu membaca isi peta, dan untuk itu kami sanggup membayarmu. Tidak perlu kauhiraukan dari mana kami memperolehnya, yang penting bacalah dan apa isinya?” Suara saudagar itu terdengar tidak sabar dan marah.

Kembali sasterawan itu menarik napas panjang, kemudian menjawab dengan suara perlahan, didengarkan dengan penuh perhation oleh paman dan keponakan itu. “Tulisan tangan Raja Jenghis Khan ini dapat dengan mudah kubaca. Bunyinya begini : Harta karun ini milik Jenghis Khan yang maha besar, yang mengutus Yelu Kim untuk menyelidikinya. Nah, hanya tulisan inilah yang dapat kubaca. Untuk dapat membaca huruf-huruf di peta itu sendiri, membutuhkan waktu sedikitnya sehari semalam.”

Su Tong Hak sudah kegirangan luar biasa mendengar kata “harta karun” tadi, dan dia meragu untuk meninggalkan peta itu. Akan tetapi keponakannya yang berasal dari dusun den kepercayaannya terhadap sesama manusia jauh lebih tebal dari pada orang kota yang sudah terlalu sering mengenal kepalsuan manusia, berkata, “Kalau memang membutuhkan waktu, biarlah kita tinggalkan peta itu di sini untuk sehari semalam. Besok kita datang lagi untuk mengambilnya.”

“Tapi…” pamannya mencela.

“Biarlah, paman. Apa artinya peta ini kalau kita tidak tahu bagaimana bunyinya?”

Akhirnya Su Tong Hak mengalah den sambil memandang tajam kepada sasterawan itu dia berkata, “Louw siucai, ingat! Peta ini milik kami dan amat berharga. Kami menitipkannya kepadamu untuk sehari semalam, agar dapat kauterjemahkan. Akan kubayar berapa saja uang lelahmu. Akan tetapi hati-hati, jangan sampai dilihat atau terdengar orang lain. Apa lagi kalau sampai hilang, nyawamu gantinya!”

Sasterawan tua itu mengangguk-angguk dan memandang kepada Ciang Kim Su, lalu berkata lirih seperti kepada diri sendiri, “Orang muda dari dusun membawa benda seperti ini, betapa bahayanya…” Diam-diam sasterawan itu agaknya maklum bahwa peta itu adalah milik si pemuda, nampak dari sikap paman den keponakan tadi. Maka ditinggalkanlah peta itu oleh mereka kepada si sasterawan yang akan mempelajarinya selama sehari semalam.

Pada keesokan harinya, paman dan keponakan itu datang lagi ke rumah Louw siucai dan dengan girang mereka menerima kembali peta bersama terjemahannya. Dan ternyatalah bahwa peta itu merupakan peta yang menunjukkan tempat disimpannya harta karun Jenghis Khan atau harta karun kuno yang sudah seribu tahun lebih umurnya dan yang oleh Jenghis Khan ditemukan petanya. Kemudian kaisar itu mengutus seorang pembantunya bernama Yelu Kim untuk menyelidiki tempat rahasia itu.

“Agaknya, Yelu Kim itu gagal dalam usahanya dan mungkin peta itu terampas orang lain, kemudian lenyap dan tahu-tahu ditemukan oleh ji-wi.” kata si sasterawan. “Akan tetapi peta ini tidak lengkap kalau tidak ada kuncinya.”

“Kuncinya? Apa maksudmu?” Su Tong Hak bertanya.

“Kunci emas. Ada disebutkan di situ, sudah kuterjemahkan, bahwa untuk menemukan tempat rahasia itu harus dengan bantuan peta ini, akan tetapi untuk dapat masuk, harus menggunakan kunci emas. Tidak tahu apakah kunci emas itu juga ji-wi temukan?”

Su Tong Hak menoleh dan memandang kepada keponakannya. Tentu saja Ciang Kim Su tahu apa yang dimaksudkan dengan kunci emas itu, ialah benda yang ditemukannya bersama peta ini dan yang kini disimpan oleh ayahnya. Akan tetapi pemuda ini menggeleng kepala, tanda bahwa diapun tidak tahu.

Su Tong Hak meninggalkan uang yang cukup sebagai pembayaran jerih payah sasterawan Louw, kemudian mengajak keponakannya pulang. Sampai di rumah, mereka berdua lalu memeriksa terjemahan peta itu dan keduanya merasa girang sekali. Dengan jelas ditunjukkan pada peta itu bahwa tempat harta karun itu berada di suatu tempat, di satu di antara puncak-puncak Pegunungan Beng-san. Memang amat sukar didatangi dan kiranya takkan mungkin ditemukan tanpa bantuan peta itu!

Kim Su, apakah engkau dan ayahmu tidak menemukan kunci emasnya?” paman itu bertanya sambil memandang tajam kepada wajah keponakannya.

“Setahuku tidak, paman. Akan tetapi aku akan bertanya kepada ayah tentang itu.”

About Lenghou Tiong


Comments are disabled.