Pendekar Sadis (Jilid ke-46)

“Jangan dikerumuni Sang Pangeran! Harap semua mundur, hamba dapat menyembuhkannya…!” Tiba-tiba Thian Sin berseru dan dengan sikap halus dia menyuruh semua orang mundur. Ketika Koksu Torgan agaknya tidak mau mundur, Thian Sin lalu menyentuh lengan dan pundak koksu itu sambil mendorong halus dan berkata, “Maaf, Koksu. harap mundur karena Sang Pangeran sakit keras dan hamba akan berusaha menyembuhkannya!”

“Minggir kau, setan!” Koksu Torgan marah dan mengibaskan tangan Thian Sin dan mendorongnya. Thian Sin terhuyung ke belakang, lalu mengambil sikap seperti orang tak berdaya dan mengembangkan kedua lengan, menggeleng-geleng kepala.

Koksu Torgan dan Raja Agahai menjenguk ke dalam ayunan itu. Sang Raja melihat pembantunya memeriksa dengan teliti, dan bertanya, “Bagaimana keadaannya?”

“Ah, sungguh aneh sekali. Bukankah tadinya beliau segar bugar? Hamba sendiri tidak tahu mengapa beliau bisa begini…” kata Koksu itu bingung melihat keadaan Sang Pangeran. “Sebaiknya dipanggil tabib…”

“Tabib tua akan dapat menolongnya!” Tiba-tiba Menteri Abigan yang juga sudah berada di situ berkata.

“Tidak, sebaiknya tabib muda saja,” kata Koksu. Di istana terdapat dua orang tabib dan tabib muda lebih akrab dengan koksu, sedangkan tabib tua dianggap bersikap tidak acuh, bahkan lebih banyak bersamadhi.

“Tapi tabib tua adalah ahli tentang racun!” kata Menteri Abigan.

“Siapa bilang Sang Pangeran keracunan?” bentak Koksu Torgan.

Akan tetapi raja sudah terpengaruh oleh ucapan Menteri Abigan, maka teriaknya, “Pengawal, panggilkan tabib tua, cepat!”

Pengawal berlari-lari dan tak lama kemudian, di antara isak tangis ibu pangeran itu, sang tabib tua yang berpakaian seperti pendeta telah memeriksa bayi itu. Tentu saja tabib ini adalah sahabat baik Menteri Abigan, seorang tokoh tua yang juga tidak menyetujui cara-cara Raja Agahai memerintah dan sebelumnya memang tabib tua ini telah dihubungi Menteri Abigan untuk membantu. Setelah memeriksa beberapa lama tabib tua itu menarik napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepalanya, membuat Sang Raja merasa khawatir bukan main.

“Bagaimana dengan anakku?” Tiba-tiba Raja Agahai tidak sabar lagi, bertanya dengan nada suara membentak.

“Ampun, Sri Baginda. Sang Pangeran ini keracunan, akan tetapi bukan sembarang racun. Yang keracunan adalah jiwanya karena terkena gangguan ilmu hitam. Ada roh jahat yang mengganggu dan hamba tidak berdaya melawannya…”

“Omong kosong!” Tiba-tiba Koksu Torgan berseru. “Ini tabib muda sudah hamba panggil, biarlah dia memerika!”

Dalam keadaan panik tentu saja Sang Raja tidak menolak semua uluran tangan dan tabib mudapun mulai memeriksa denyut nadi dan detik jantung.

Tabib ini memang seorang yang pandai, walaupun tidak sepandai tabib tua yang berpengalaman. Dia memandang heran dan berkata, seperti kepada diri sendiri. “Ada hawa aneh menguasai tubuhnya… tapi beliau ini sebenarnya tidak sakit… hamba harus memeriksa lebih teliti lagi…”

“Hemm, pengaruh ilmu hitam adalah perbuatan setan. Mana ada tabib manusia biasa melawan setan mengerikan? Lihat baik-baik, ada bayangan setan menguasai Sang Pangeran, apakah kau tidak dapat melihatnya?” Ucapan ini terdengar jelas sekali oleh telinga tabib muda itu, walaupun tidak terdengar orang lain dan tabib muda itu terkejut, cepat memandang ke arah bayi dan… hampir saja dia menjerit ketika melihat adanya bayangan muka raksasa yang menakutkan di atas bayi itu. Dia meloncat mundur, matanya terbelalak, tubuhnya manggigil.

“Eh, kau kenapa?” Koksu Torgan membentak.

Tabib muda yang sudah dikuasai oleh kekuatan sihir yang diucapkan Thian Sin dengan pengiriman suara melalui khi-kang itu, menggigil dan berkata gagap, “Hamba… hamba tidak sanggup… melawan…”

Tentu saja sikap dan ucapan tabib muda ini mengejutkan semua orang dan tangis ibu pangeran itu makin keras. Juga Sang Raja kini menjadi pucat dan bingung. Pada saat yang memang sudah dinanti-nanti oleh Thian Sin ini, dia berkata, “Sri Baginda, kalau paduka menghendaki kesembuhan Pangeran, perkenankan hamba yang menyembuhkan beliau.”

Raja Agahai baru teringat kepada tukang sulap ini dan dengan girang dan penuh harapan dia lalu menghampiri dan menarik lengan pemuda itu, disuruhnya berdiri, “Hauw Lam, kalau engkau bisa menyembuhkannya, kami sungguh berterima kasih kepadamu.”

“Tapi… tapi hamba takut kepada Koksu…”

“Takut apa?” bentak Koksu Torgan marah. “Kalau memang engkau dapat menyembuhkan pangeran, hayo cepat lakukan jangan banyak cerewet!”

Akan tetapi Thian Sin tidak menjawab, melainkan berkata kepada Sang Raja, “Hamba mohon agar semua orang mundur dan membiarkan hamba sendiri dengan Sang Pangeran. Kalau dikerumuni orang, hamba khawatir hamba takkan berhasil menyembuhkan beliau.”

Mendengar ini, tentu saja Raja Agahai lalu memerintahkan dengan suara lantang agar semua orang mundur, bahkan dia sendiripun lalu mundur kembali ke tempat duduknya. Suasana menjadi tegang. Para tamu yang tadinya berkerumun, kembali ke tempat duduk masing-masing. Suasana menjadi sunyi dan legang. Koksu Torgan sendiri terpaksa mundur, dan berdiri di pinggir dengan muka merah dan mata penuh perhatian ditujukan kepada Thian Sin untuk mengikuti setiap gerak-geriknya. Diam-diam dia memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk bersikap waspada dan panggung itupun dikurung pengawal. Sebenarnya bukan panggung yang dikepung, melainkan pemuda yang masih dicurigai oleh koksu itu.

Setelah semua orang mundur, Thian Sin lalu menghampiri ayunan itu. Tentu saja dia hanya berpura-pura saja memeriksa, karena bayi itu berada dalam keadaan demikian adalah karena perbuatannya. Tadi dia telah melakukan totokan halus pada pundak bayi. Caranya menotok jalan darah adalah cara yang dipelajarinya dari kitab ayahnya, maka amat sukar bagi orang lain untuk mengetahuinya, apalagi menyembuhkannya. Dan biarpun totokan halus itu tidak sampai membahayakan nyawa anak itu, namun cukup untuk membikin kacau jalan darahnya sehingga anak itu berada dalam keadaan pingsan, dan kalau tidak cepat mendapatkan pertolongan, dipulihkan lagi jalan darahnya, tentu saja dapat mengakibatkan kematiannya.

Thian Sin memondong bayi itu keluar dari ayunan, membawanya ke tengah-tengah panggung. Hal ini memang disengaja agar semua orang melihatnya dan agar mendatangkan kesan yang lebih mendalam. Akan tetapi, Koksu Torgan menjadi semakin curiga dan diam-diam dia mempersiapkan anak buahnya, kalau-kalau pemuda itu akan menculik atau melarikan Sang Pangeran.

Ketika memondong pangeran itu, diam-diam Thian Sin sudah memulihkan totokannya, akan tetapi dia tahu bahwa dia harus bersandiwara kalau memang hendak menimbulkan kepercayaan raja. Maka sambil membebaskan anak itu, diam-diam diapun menekan urat gagunya sehingga biarpun anak itu sudah normal kembali, namun masih belum dapat menangis.

Thian Sin kini meletakkan anak yang terbungkus selimut itu ke atas lantai panggung! Semua orang melihat betapa anak itu tidak mendelik lagi dan kaki tangannya sudah mulai bergerak-gerak! Sang Ibu dan juga Sang Raja girang sekali, akan tetapi terdengar Thian Sin berkata, suaranya terdengar menyeramkan karena mengandung khi-kang.

“Sang Pangeran dipengaruhi roh jahat…! Dan aku akan menandingi setan jahat itu, aku akan mengusirnya! Kalau roh jahat itu sudah terusir, barulah Sang Pangeran akan dapat menangis dan berarti Sang Pangeran sembuh benar-benar!”

Suasana menjadi tegang kembali walaupun tadinya semua orang sudah merasa lega dan girang melihat Sang Pangeran sudah dapat bergerak-gerak dan tidak mendelik lagi. Kini semua orang memandang setiap gerak-gerik Thian Sin, seperti tersihir dan mereka meremang mendengar pemuda itu akan berkelahi melawan setan atau roh jahat!

Setelah mengeluarkan kata-kata yang menyeramkan tadi, Thian Sin lalu mengeluarkan suling dan meniup suling itu dengan suara melengking-lengking mengerikan. Semua orang terbelalak dan hanya Menteri Abigan saja yang dapat menduga bahwa pemuda itu bersandiwara, sungguhpun dia sendiri tidak mengerti apa yang telah menimpa diri Sang Pangeran. Juga Koksu Torgan tidak membiarkan dirinya terpengaruh dan dia tetap memandang dengan penuh kecurigaan dan kewaspadaan.

Setelah merasa cukup untuk mencari kesan yang mendalam, terutama untuk membuat raja dan keluarganya tunduk kepadanya, suara sulingnya makin menurun dan akhirnya berhenti sama sekali. Dan tiba-tiba, seperti diserang oleh lawan yang tidak nampak, tubuh Thian Sin terjengkang! Dia meloncat sambil berseru nyaring. “Iblis jahat, siapa takut padamu?” Dan terjadilah “perkelahian” yang membuat semua orang memandang dengan terbelalak dan tengkuk mereka terasa dingin dan meremang. Pemuda itu benar-benar sedang “berkelahi” melawan sesuatu yang tidak kelihatan. Dan kadang-kadang terdengar suara seperti ledakan dan nampak asap mengepul ketika lengan pemuda itu bertemu dengan lengan atau benda lain. Kadang-kadang pemuda itu terhuyung, bahkan roboh, akan tetapi kading-kadang pemuda itu juga seperti mendesak lawan. Thian Sin bersilat sembarangan, akan tetapi kadang-kadang mengerahkan sin-kang untuk menciptakan suara ledakan beradunya kedua telapak tangannya sehingga mengeluarkan uap seperti asap!

Akhirnya dia berhenti bergerak, terengah-engah. “Iblis jahanam, kembalilah kepada orang yang menyuruhmu!” katanya, seolah-olah bicara dengan lawannya yang melarikan diri. Dan diapun membungkuk, memondong bayi itu dan seketika bayi itu menangis! Tentu saja menangis karena Thian Sin membebaskan totokan urat gagunya dan sekalian mencubit pahanya!

Terdengar sorak kegirangan ketika bayi itu menangis dan kini Thian Sin membawa bayi itu kepada Sang Raja yang menyambut dengan mata basah! Bahkan ibu pangeran itu tersedu-sedu dan semua orang memandang kepada Thian Sin seperti memandang kepada seorang pahlawan! Akan tetapi Thian Sin berbisik kepada raja.

“Sri Baginda, apakah Paduka ingin mengetahui siapa yang menyuruh roh jahat itu mengancam Sang Pangeran?”

“Katakan siapa!” Raja berkata dengan marah sambil mengepal tinju.

“Biarkan hamba bicara dengan Paduka, akan tetapi jangan ada yang ikut mendengarkan rahasia ini,” bisik Thian Sin. Raja Agahai lalu menarik tangan pemuda itu, diajaknya ke pinggir dan tentu saja tidak ada yang berani mendekati mereka, bahkan Koksu Torgan hanya memandang dari jauh saja. Para selir raja masih kegirangan menimang-nimang Sang Pangeran yang sudah sembuh sama sekali itu. Para tamu melanjutkan pesta dalam suasana gembira dan semua orang membicarakan pemuda yang hebat itu.

Sementara itu Thian Sin berbisik-bisik, “Harap Paduka bersikap tenang dan jangan memperlihatkan kemarahan sebelum orangnya tertangkap. Paduka tentu akan terkejut sekali melihat adanya musuh dalam selimut. Ketahuilah, Sri Baginda, yang melakukan perbuatan biadab itu adalah orang-orang kepercayaan Paduka sendiri, yaitu Koksu Torgan.”

“Ahhh…!” Raja Agahai terkejut sekali dan mukanya berubah pucat. “Mana mungkin…?”

Thian Sin tersenyum. “Tentu saja Paduka tidak dapat percaya begitu saja. Hamba sama sekali tidak melakukan fitnah, karena Paduka dapat membuktikan sendiri. Dan Koksu Torgan tidak bekerja sendiri, melainkan bersekongkol dengan seorang isteri Paduka sendiri…”

“Hehhh…! Be… benarkah…? Hauw Lam, kalau engkau bukan penyelamat anakku, sekarang juga engkau sudah kubunuh!” Raja itu berkata dengan kemarahan yang ditahan-tahan.

“Hamba tahu, Sri Baginda. Dan hamba sama sekali tidak melakukan fitnah. Isteri Paduka yang bersekongkol adalah yang berbaju ungu itu…”

Raja Agahai semakin marah. “Berani engkau menuduh demikian kepada selirku tercinta dan pembantuku yang paling setia?”

“Dapat dibuktikan, Sri baginda. Kalau tidak ada bukti, biar leher hamba taruhannya. Tadi, di waktu orang-orang berjubel, hamba melihat sendiri betapa selir Paduka itu diam-diam menyerahkan benda kepada Koksu…”

“Benda apa? Benda apa, keparat!” Raja Agahai sudah marah sekali.

“Hamba tidak tahu benar, akan tetapi nampaknya sebuah peniti berbentuk burung hong merah…”

Wajah raja itu pucat kembali. Burung hong merah? Peniti? Memang selirnya yang tercinta memiliki benda ini, yang selalu dipakainya pada bajunya, yang sebelah dalam, untuk menutupkan baju dalam itu di bagian dada. Betapa dia ingat dan mengenal sekali benda itu karena sering dia membukanya! Timbul keraguannya, karena dari mana pemuda ini mengerti tentang benda itu kalau tidak melihat sendiri? Dan benda yang dipakai di sebelah dalam itu tidak pernah nampak dari luar.

“Be… benarkah…?”

“Sri baginda, kenapa tidak memanggil koksu? Hamba yakin benda itu masih berada di dalam saku bajunya.” Kemudian disambungnya berbisik, “Sri baginda harap tenang dan sabar. Kalau hal ini diketahui umum, berarti akan mencemarkan nama Paduka sendiri. Lebih baik sementara Paduka jangan melakukan tindakan terhadap isteri Paduka, agar orang luar tidak mengetahui persoalan ini. Dan isteri Paduka hanya terpengaruh sihir dan ilmu hitam koksu itu.”

Raja Agahai mengangguk dan suaranya nyaring ketika dia membentak dan memanggil, “Koksu…!”

Koksu Torgan sejak tadi mengamati pemuda yang bercakap-cakap berdua saja dengan raja itu. Ketika melihat perubahan muka raja, diam-diam dia khawatir dan menduga-duga, apa gerangan yang mereka bicarakan. Akan tetapi, ketika raja memanggilnya, dia terkejut dan cepat-cepat menghampiri. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika raja memerintahkan pengawal untuk menggeledahnya! Koksu Torgan terbelalak, seolah-olah tidak percaya akan pendengarannya sendiri ketika raja itu berkata kepada para pengawal pribadi raja itu, “Geledah dia!”

Akan tetapi, kalau dalam keadaan biasa dia tentu akan memukul mati para pengawal yang berani menjamahnya, kini dengan adanya perintah raja, tentu saja dia tidak berani berkutik, melainkan berlutut dengan sebelah kaki dan membiarkan dua orang pengawal menggeledah saku-saku bajunya. Menyaksikan pemandangan yang aneh ini, semua selir raja juga memandang bingung, juga para pengawal kebingungan. Di antara para tamu, hanya yang duduknya dekat panggung saja yang melihat hal itu, sedangkan mereka yang duduknya agak jauh tidak melihatnya. Sementira itu, Thian Sin memandang sambil tersenyum, akan tetapi siap untuk turun tangan kalau-kalau koksu itu akan melawan. Koksu Torgan sendiri tentu saja dengan tenang membiarkan dirinya digeledah, sambil menahan marah karena dia dapat menduga bahwa perbuatan raja ini tentu ada hubungannya dengan pemuda Han itu. Dia merasa tenang karena tidak merasa menyembunyikan sesuatu, tidak merasa bersalah sedikitpun juga. Akan tetapi betapa kaget dan herannya ketika di antara barang-barangnya sendiri yang dikeluarkan dari saku-saku bajunya, terdapat sebuah benda yang sama sekali tidak dikenalnya. Sebuah peniti indah berbentuk burung hong merah!

Melihat ini, maka raja menjadi marah sekali. Itulah peniti selirnya yang tercinta, selir suku bangsa Biauw itu! Peniti yang biasanya menempel di baju dalam selirnya di bagian dada, kini berada dalam saku baju koksu itu! Hampir saja raja tidak dapat menahan kemarahannya, akan tetapi dia teringat akan pesan Thian Sin dan maklum bahwa kalau dia tidak dapat mengendalikan kemarahannya, tentu rahasia yang mencemarkan namanya akan bocor. Maka, dengan muka merah itu, dia memberi perintah dengan suara ditekan sehingga tidak begitu keras, “Tangkap jahanam ini!”

Koksu Torgan terkejut bukan main. “Tapi… Sri Baginda…!”

Thian Sin sudah melangkah maju, tersenyum dan berkata, “Koksu Torgan, apakah engkau hendak melawan perintah raja?”

Torgan memandang kepada Thian Sin, maklum bahwa orang inilah yang menjadi biang-keladinya, maka kemarahan membuat dia lupa diri, lupa bahwa dia berada di depan rajanya. Dia mengeluarkan suara aneh dari tenggorokannya dan dia sudah menubruk maju dan menyerang Thian Sin dengan kecepatan dan kekuatan yang cukup dahsyat! Akan tetapi, Thian Sin sudah siap. Dia tahu bahwa orang ini bukan seorang lawan yang lunak, maka diapun cepat menangkis sambil mengerahkan tenaga, maka bertemulah dua lengan yang diisi penuh dengan tenaga sin-kang itu.

“Dessss…!” Thian Sin diam-diam kagum akan kekuatan lawan yang dapat membuat dia merasa terdorong ke belakang dan kedudukan kakinya tergeser. Akan tetapi, Torgan sendiri terpental lalu terhuyung ke belakang. Empat orang pengawal raja lalu menubruk untuk menangkap dan membelenggunya sesuai dengan perintah raja tadi. Akan tetapi bekas koksu itu meronta dan kaki tangannya bergerak dan… empat orang pengawal itu terlempar dan terbanting dengan keras. Para pengawal lainnya cepat maju mengepung, dan Thian Sin berkata, “Harap kalian mundur, biarkan aku yang menangkap pemberontak ini!”

Sementara itu, Raja Agahai marah bukan main melihat Torgan melawan itu. Dengan mata mendelik raja membentak, “Torgan! Beranikah engkau hendak menentang perintahku? Apakah engkau hendak melawan dan memberontak?”

Torgan memandang ke kanan kiri. Dia sudah terkurung dan tahulah dia bahwa melawan berarti membunuh diri, Apalagi pemuda yang berada di depannya itu benar-benar memiliki kepandaian hebat, diapun lalu menjatuhkan diri berlutut. “Hamba tidak melawan, hanya merasa penasaran. Hamba difitnah…”

“Hemm, hal itu masih akan dapat diusut lebih lanjut. Tangkap dia!” kata raja kepada para pengawal. Dan sekali ini Torgan tidak melawan dan membiarkan kedua tangannya dibelenggu para pengawal. Semua orang terkejut bukan main, tidak tahu apa yang telah terjadi maka koksu itu ditangkap atas perintah raja sendiri di tempat pesta itu! Semenura itu, Menteri Abigan yang diam-diam girang sekali akan hasil usaha cucu Puteri Khamila ini, cepat berlutut kepada raja.

“Sri Baginda, tidakkah sebaiknya hamba mengakhiri saja pesta ini?”

Raja Agahai yang masih amat marah itu mengangguk, kemudian dia memandang kepada selirnya yang tercinta itu dengan hati penuh kemarahan, cemburu dan juga masih belum terbebas dari rasa heran yang amat sangat. Selagi Menteri Abigan mengumumkan ditutupnya pertemuan dan pesta itu, Thian Sin mendekati raja dan berbisik, “Sebaiknya kalau Paduka mengajak semua keluarga ke dalam istana dan hamba sanggup untuk membuat selir itu mengaku tanpa banyak menimbulkan keributan.”

Raja Agahai mengangguk. Kini dia percaya penuh kepada pemuda ini. Dengan singkat dia lalu memerintahkan agar semua keluarganya kembali ke dalam istana. Puteri atau selir bangsa Biauw itu tadi belum melihat apa yang terjadi. Seperti para selir lain, ia sendiri juga masih terheran-heran, mengapa koksu ditangkap oleh raja dan mengapa raja marah-marah seperti itu. Maka, bersama keluarga raja, selir yang cantik inipun lalu masuk kembali ke dalam istana. Raja Agahai mengajak Thian Sin untuk masuk pula ke dalam istana, Menteri Abigan dan rekan-rekannya memandang dengan senyum kemenangan.

***

Selir bangsa Biauw itu memandang dengan matanya yang indah terbelalak penuh keheranan ketika melihat Thian Sin berada dalam kamar raja itu. Ia tadi menerima panggilan raja melalui dayang pelayan dan ia tidak merasa heran oleh panggilan ini. Memang raja amat mencintanya dan sering kali ia menerima panggilan pada siang hari, tidak hanya pada malam hari saja. Akan tetapi ketika ia memasuki kamar itu dan melihat pemuda tukang sulap yang amat menarik hatinya tadi berada pula di situ, ia terkejut dan terheran-heran schingga ia menahan langkahnya, ragu-ragu apakah ia herus terus masuk atau tidak.

“Leng Ci, ke sinilah!” Raja memanggilnya, akan tetapi suara raja demikian kakunya sehingga membuat wanita Biauw yang bernama Leng Ci itu terkejut dan ketakutan. Ia melangkah maju sambil memandang wajah raja dengan penuh keheranan. Melihat raja marah, iapun segera menjatuhkan diri berlutut dengan penuh hormat, apalagi di situ terdapat orang luar. Kalau sedang berdua saja, tentu ia tidak banyak melakukan upacara penghormatan ini, melainkan langsung merangkul dan merayu raja untuk menghibur hati raja, yang agaknya sedang dalam gundah.

“Leng Ci, apakah engkau sudah merasa akan kesalahanmu?” Tiba-tiba raja bertanya dan wanita itu menjadi makin terkejut.

Leng Ci mengangkat muka memandang wajah raja. Tubuhnya gemetar, dan suaranya juga gagap ketika ia menjawab dengan pertanyaan pula, “Apa… apa… maksud Paduka? Hamba tidak mengerti…”

Raja sudah bangkit dari kursinya dengan marah, akan tetapi Thian Sin yang duduk di kursi lain segera bangkit dan berkata halus, “Ingat, Sri baginda, harap tenang. Perkenankan hamba yang bertanya. Ingatkah, ia tidak dalam keadaan wajar melainkan dikuasai oleh pengaruh jahat.” Sebelumnya tadi memang Thian Sin memberitahukan raja bahwa wanita itupun berada di bawah pengaruh kekuasaan koksu yang mempergunakan ilmu hitam, sehingga wanita itu tidak sadar apa yang dilakukannya! Tentu saja semua ini adalah karangannya sendiri saja. sebetulnya, Thian Sin yang tadi ketika mencubit pinggul Leng Ci, mempergunakan kepandaiannya untuk dalam keadaan berdesakan panik itu mencuri peniti burung hong merah itu tanpa diketahui oleh pemiliknya. Kemudian ketika dia mencegah koksu mendekati bayi, diapun berhasil memindahkan peniti itu ke dalam saku baju Sang Koksu tanpa diketahui oleh orang itu pula.

Raja menghela napas panjang. “Baiklah… baiklah…”

Thian Sin kini menghadapi Leng Ci yang masih berlutut. Wanita itu mengangkat muka memandang kepadanya dan betepa herannya melihat pemuda itu tersenyum, kemudian mengejapkan sebelah mata kepadanya! Pemuda itu sungguh berani sekali, akan tetapi karena ketika itu berdiri membelakangi raja, tentu saja Agahai tidak melihat perbuatan ini. Sedangkan Leng Ci menduga-duga apa yang sedang terjadi dan mengapa pula pemuda itu berani bersikap demikian kepadanya.

“Nyonya,” Thian Sin mulai bicara dengan suara halus, namun terdengar sungguh-sungguh. “kenalkan nyonya akan benda ini?” tanyanya sambil membuka tangan kanan, memperlihatkan peniti yang tadi diterimanya dari raja.

Leng Ci memandang benda itu dan tiba-tiba tangan kirinya meraba dada. “Aihhh… bagaimana bisa berada di situ…? Itu… itu penitiku…”

“Nah, peniti bajumu ini terdapat oleh Sri Baginda berada di dalam saku baju koksu, nyonya.”

Wajah Ceng Li menjadi pucat seketika dan matanya terbelalak tidak percaya. “Ah, mana mungkin…?”

“Kenyataannya demikian, masih mau mungkir?” Tiba-tiba Raja Agahai membentak dan wanita itu makin ketakutan.

“Hamba… hamba tidak tahu…”

“Nyonya, jangan takut. Mengakulah saja.” Sambil berkata demikian, Thian Sin mencurahkan padang mata yang mengandung penuh kekuatan sihir kepada wajah yang cantik itu. “Engkau disuruh oleh Koksu untuk membakar kertas jimat hu di bawah ayunan Sang Pangeran, benar tidak?”

Leng Ci menundukkan mukanya dan mengangguk sambil menjawab lirih, “Benar…”

Raja Agahai mengepal tinju akan tetapi diam saja dan mendengarkan terus.

“Kemudian, dia menyuruhmu memberikan peniti kepadanya dalam pesta sebagai tanda bahwa engkau telah berhasil melakukan perintah itu, bukan? Benar tidak?”

“Be… benar…”

“Engkau mau melakukannya karena engkau dibujuknya, dan karena engkaupun merasa iri dengan lahirnya seorang pangeran dari isteri raja yang lain. Engkau mau melakukan karena engkau tidak menyangka buruk terhadap niat Koksu, bukan? Dia mengatakan bahwa kalau engkau menuruti perintahnya, engkau kelak akan bisa mempunyai keturunan. Benar tidak?”,

“Benar…”

Thian Sin menghadapi raja. “Nah, Paduka mendengar sendiri. Selir Paduka ini telah bersalah. Ia bertindak bukan atas kehendak sendiri, melainkan tepengaruh sihir. Koksu yang bersalah, karenanya dia patut diberi hukuman yang berat!”

“Dia harus dihukum, sekarang juga!” teriak Raja Agahai dengah penuh kemarahan.

“Akan tetapi, hamba harap Paduka mengampuni isteri Paduka ini hanya melakukan hal itu di luar kesadarannya. Bahkan sampai sekarangpun ia masih berada dalam cengkeraman kekuatan sihir dari Koksu. Kalau Paduka tidak percaya, cobalah Paduka pandang dengan teliti, bukankah ada bayangan Koksu di atas kepalanya?”

Raja Agahai memandang kepada selirnya yang tercinta itu dan dia terbelalak. Tanpa diketahuinya, Thian Sin telah mengerahkan kekuatan sihirnya dan kini raja itu melihat ada bayangan di atas kepala selirnya. Bayangan koksu! Maka dia mengangguk-angguk dan menjadi semakin marah kepada koksu, juga merasa serem.

“Lalu bagaimana baiknua? Apa yang harus kami lakukan terhadap dirinya agar ia terlepas dari cengkeraman kekuasaan itu.”

“Hamba sanggup mengobatinya seperti hamba mengobati Sang Pangeran. Akan tetapi, melawan iblis lebih ringan dari pada melawan koksu. Dia akan melawan sekuatnya untuk melepaskan sang puteri, oleh karena itu perkenankan hamba mengobatinya di dalam kamar tertutup selama sehari semalam.”

“Baik, bawalah dia ke kamarmu yang akan kami sediakan, dan obatilah sampai sembuh. Kalau ia sudah sembuh, baru kami akan memutuskan, apa yang harus kami lakukan untuknya.” Raja Agahai sendiri merasa bimbang apakah dia harus menjatuhkan hukuman terhadap selirnya itu. Selir itu paling cantik dan paling menggairahkan, dia masih sayang kepadanya, apalagi keterangan Thian Sin menimbulkan keraguan hatinya. Raja mengutus dayang untuk mengantarkan Thian ke dalam sebuah kamar tamu terbaik di dalam istana. Dan ketika Thian Sin menggandeng lengan selir itu, sang selir bangkit berdiri dan ikut dengan pemuda itu seperti boneka berjalan karena wanita itu sendirl juga masih bingung apa yang telah menimpa dirinya sehingga terjadi hal-hal yang dianggapnya amat aneh itu.

Raja Agahai lalu memanggil semua pembantunya. Para menteri dan panglima berkumpul dan di dalam persidangan ini, Raja Agahai mengumumkan hukumm mati kepada Koksu Torgan. Tentu saja para pembesar itu, kecuali Menteri Abigan dan para rekannya, terkejut bukan main. Mereka semua masih belum mengerti mengapa koksu ditangkap atas perintah raja sendiri di dalam pesta itu, dan kini malah raja memutuskan hukuman mati kepada koksu! Tentu saja, sebagian di antara para teman Torgan merasa terkejut dan penasaran. Mereka semua tahu bahwa Torgan adalah seorang yang amat setia kepada Raja Agahai dan menjadi pembantu terbaik dan terpercaya.

Tentu saja beberapa orang pembesar segera mengajukan protes dan pertanyaan, mengapa dijatuhkan hukuman mati kepada koksu. Raja Agahai berkata, “Kalian semua telah melihat betapa putera kami telah mengalami gangguan roh jahat, yang hampir saja menewaskannya. Untung ada pemuda sakti itu yang menyelamatkan nyawanya. Dan tahukah kalian siapa yang melakukan perbuatan jahat itu? Bukan lain adalah Koksu Torgan!”

“Ahhh…!” Semua pembesar terkejut, bahkan Menteri Abigan sendiri terheran-heran dan kagum sekali terhadap cucu Puteri Khamila itu, bagaimana siasatnya sampai berhasil sejauh ini. “Ampun, Sri Baginda. Harap Paduka suka memeriksa dengan seksama sebelum menjatuhkan keputusan. Siapa tahu ini hanya fitnah belaka,” kata mereka.

“Hemm, kami telah melihat dengan mata kepala sendiri. Ada bukti dan ada saksi. Torgan telah berkhianat dan bermaksud memberontak. Dia telah menggunakan sihir menguasai seorang di antara isteri kami, membakar hio di bawah ayunan pangeran, dan sampai sekarangpun isteri kami itu masih dalam kekuasaan sihirnya dan sedang diobati oleh Hauw Lam.”

Perintah raja tak dapat dibantah lagi dan hari itu juga, Torgan menerima hukuman penggal kepala, dan seperti biasa, kepalanya dipancangkan di tempat umum untuk menjadi peringatan bagi mereka yang berhati bengkok, yaitu mereka yang hendak menentang kekuasaan raja.

Sementara itu, setelah membawa selir bangsa Biauw yang bernama Leng Ci itu ke dalam sebuah kamar tamu mewah yang diperuntukkan dia, Thian Sin menutup dan memalang daun pintu kamar, kemudian diapun melepaskan kekuatan sihirnya atas diri wanita itu. Wanita itu sadar dan terkejut mendapatkan dirinya berada di dalam kamar tamu, dan wajahnya menjadi merah sekali ketika ia melihat Thian Sin berada di situ, duduk dan memandang kepadanya. Biarpun wanita itu merasa jantungnya berdebar dan mukanya merah, akan tetapi bukan karena marah, sungguhpun ia mengambil sikap seperti orang marah.

“Kenapa aku berada di sini? Biarkan aku keluar!” Ucapannya ini dengan nada membentak dan marah.

Thian Sin tersenyum. “Mau keluar? Silakan. Sri Baginda telah menanti untuk menjatuhkan hukuman berat padamu. Lupakah engkau bahwa perhiasan pakaian dalammu berada di dalam saku baju Koksu?”

Mendengar ini, teringatlah Leng Ci akan segala persoalan yang menimpa dirinya, mukanya pucat dan matanya terbelalak memandang kepada pemuda itu. “Ahhh… apa yang terjadi? Bagaimana mungkin hal itu telah terjadi?”

“Koksu menguasaimu dengan sihir sehingga engkau membantu Koksu untuk membunuh pangeran. Dan engkau telah mengakui semua hal itu kepada Sri Baginda tadi.”

Muka itu semakin pucat. “Ah, mana mungkin begitu? Aku… aku tidak pernah membantu Koksu, aku tidak pernah melakukan hal itu…”

“Karena engkau tidak sadar, berada di bawah kekuasaan sihir Koksu. Engkau tadi sudah mengakui semua hal kepada Sri Baginda dan semestinya engkau dihukum berat, mungkin hukuman mati.”

About Lenghou Tiong


Comments are disabled.