Rajawali Emas (Jilid ke-22)

Li Eng mmemaki-maki, meronta-ronta dan mencoba untuk menggigit lagi, namun Kong Bu tidak perdulikan semua itu dan lari secepatnya menuju ke tengah hutan. Akhirnya berhenti di sebuah lereng dan berkata,

“Nah, kau lihat kebawah !”

Li Eng yang masih dipanggul itu melirik ke bawah. Di depannya terdapat sebuah lembah yang curam dan di dalam lembah itu tampaklah puluhan ekor anjing yang berkeliaran. Mereka nampak buas dan begitu melihat dua orang di atas lereng, mereka menggonggong dan menyalak dengan muka ganas. Ngeri juga hati Li Eng, akan tetapi ia mengeraskan hati dan berkata, “Aku tidak takut !”

Kong Bu mengeluarkan suara ketawa getir, hatinya kecewa kenapa gadis ini belum juga menyerah kalah dan mengaku takut. Dengan mendongkol ia menurunkan Li Eng, menotok jalan darahnya sehingga gadis itu lemas kaki tangannya. Kemudian ia menggunakan sebuah pedang memutuskan tali belenggu kedua tangan Li Eng.

“Aku tidak sudi membunuhmu dengan kedua tangan sendiri, karena aku bukanlah pembunuh murahan. Akupun tidak sudi menghina dan mempermainkanmu seperti yang dimaksudkan kakek, karena aku bukanlah seorang manusia rendah dan hina. Akan tetapi karena kau seorang anak murid Hoa-san-pai, untuk membalas sakit hati mendiang ibuku kau akan ku lempar ke dalam jurang lembah itu. Kau boleh melawan anjing-anjing itu, kalau kau memang dan dapt naik kembali dengan selamat, aku takkan mengganggumu.”

Tanpa memberi kesempatan kepada gadis yang pandai itu untuk menjawab, Kong Bu menggerakan kedua tanggannya, yang kanan menotok punggung membebaskan aliran jalan darah, yang kiri mendorong tubuh gadis itu ke dalam lembah yang curam itu. Tanpa dapat menahan diri lagi Li Eng terdorong ke bawah.  Tubuhnya melayang ke tempat yang dalamnya lima enam meter itu. Segera ia dapat menguasai diri dan cepat mengatur keseimbangan tubuhnya, berjungkir balik dan dapat turun ke dasar lembah dalam keadaan berdiri. Suara hiruk pikuk binatang-binatang itu menyambut kedatangannya. Puluhan ekor anjing liar yang bermata merah dengan lidah terjulur keluar segera mengurungnya, menggonggong dan memperlihatkan gigi dan taring yang runcing mengerikan.

Gadis itu menyedot napas dalam-dalam, mengumpulkan semangat dan tenaga, mengusir rasa jijik dan takut, kemudian ia mendahului anjing-anjing itu, menendang dan memukul. Makin berisiklah keadaan di lembah itu. Ada anjing yang terpukul mati seketika, hanya dapat berkelojotan sebentar, ada yang berkuik-kuik, ada yang meraung-raung dan anjing-anjing yang lain semua mengonggong dan menyalak marah. Mereka ini lalu menyergap dan mengeroyok  Li Eng. Namun dengan gagahnya gadis ini mengamuk, tangan dan kakinya bergerak-gerak mengelak kesana ke mari sambil memukul, menendang lalu meloncat.

Di atas tebing lereng itu, Kong Bu berdiri tegak menonton. Mula-mula mulutnya tersenyum mengejek dan matanya membayangkan kekerasan hatinya. Akan tetapi ketika ia menyaksikan sepak terjang Li Eng, senyumnya menghilang dan matanya berubah membayangkan kekaguman besar. Bukan main gadis ini pikirnya. Belum pernah selama hidupnya ia melihat seorang gadis  sedemikian gagah beraninya, jangankan melihat malah mimpipun belum pernah. Sukarlah, malah tak mungkin kiranya, membayangkan seorang dara seperti ini hebatnya !  Dadanya berdebar dan kini ia memandang penuh perhatian. Betapapun gagah dan lihainya Li Eng, gadis itu semalam suntuk tidak tidur, pula tubuhnya amat lelah dan berkali-kali ia harus mengerahkan tenaga menghadapi Kong Bu. Kini dikeroyok puluhan ekor anjing yang liar itu, perlahan-lahan ia kehabisan tenaga dan berkuranglah kegesitannya. Sudah lebih duabelas ekor anjing menggeletak menjadi bangkai oleh pukulan dan tendangannya, namun yang mengeroyoknya masih berpuluh-puluh !  Pukulannya kini mulai kurang keras, gerakannya lemah dan limbung. Namun sedikitpun juga semangatnya tidak pernah berkurang, dan tidak sedikitpun juga ia nampak takut atau bingung.

Tiba-tiba lima ekor anjing menyerang dengan serentak, menubruk dari kanan kiri dan depan, Li Eng melompat mundur untuk menghindarkan diri. Malang baginya, kebetulan sekali disebelah belakang ada seekor anjing pula sehingga kakinya terhalang dan ia terjengkang kebelakang. Serempak lebih dari sepuluh ekor anjing menubruknya dengan moncong terbuka lebar !

Wajah Kong Bu menjadi pucat seketika akan tetapi ia kagum bukan main ketika gadis itu dengan kegesitan luar biasa telah menggulingkan tubuhnya cepat-cepat ke kiri terus melompat berdiri. Namun ia tak dapat menghindar serangan seekor anjing dari sebelah belakang yang menubruk kakinya dan menggigit betisnya. Kain celana di bagian betis robek berikut kulit betisnya. Li Eng menjerit tertahan, membalikan tubuh dan sekali tangan kanannya menghantam pecahlah kepala anjing itu !  Demikian hebat marahnya sehingga seketika timbul kembali tenaganya, namun kini ia merasa kakinya yang tergigit tadi kaku dan sakit-sakit. Sekilas ia mengerling ke atas dan melihat pemuda itu masih berdiri tegak. Kemarahannya bangkit, sampai mati ia tidak akan memperlihatkan rasa takut takkan mau menyerah, biar pemuda gila itu terbuka matanya bahwa dia adalah seorang dara berdarah pendekar sejati. Ia melawan terus, memukul menendang, namun pandang matanya mulai berkunang-kunang, tubuhnya terhuyung-huyung, kepalanya pening. Ia masih dapat melihat berkelebatnya sosok bayangan orang diikuti sinar pedang yang membabati anjing-anjing yang mengeroyoknya, kemudian Li Eng mengeluh dan roboh pingsan !

Dalam keadaan setengah sadar Li Eng merasa seolah-olah dunia terbakar di sekelilingnya. Warna merah dan kuning menyelubungi dirinya, dan suara gonggongan anjing terngiang-ngiang di telinganya. Kemudian ia melihat kepala-kepala banyak anjing liar dengan moncong terbuka hendak menggigitnya. Ia merasa ngeri sekali, kemudian kepala-kepala anjing ini menyuram, terganti kepala seorang pemuda yang gagah dan ganteng.

“Kenapa kau begini benci kepadaku………..?”  Li Eng berbisik, hatinya sakit sekali.

“Diamlah……….” ia tiba-tiba mendengar suara perlahan, “diamlah, biar kuhisap keluar racun anjing itu. Siapa tahu anjing tadi gila………”  Lalu ia merasa amat sakit pada betis kaki kirinya. Li Eng membuka mata dan ternyata ia sedang rebah terlungkup di bawah sebatang pohon, beralaskan rumput hijau yang amat sedap dan segar. Ia menggerakan lehernya dan melihat………pemuda “gila” itu duduk di dekatnya, mengangkat kaki kirinya dan………….menyedot betisnya yang terasa panas dan sakit.

“Kurang ajar ! Kau !  Lepaskan kakiku, lepaskan !”  Li eng berteriak keras sekali, meremang seluruh bulu di badannya ketika mendapat kenyataan kakinya telah telanjang sampai ke lutut dan betapa betisnya di “cium” oleh mulut pemuda itu.

Kong Bu, pemuda itu, menunda pekerjaannya, menoleh dengan kening berkerut.

“Rewel benar kau !” bentaknya. “Kalau anjing menggigit betismu tadi gila, sebentar lagi kau yang menjadi gila, tahukah kau ?  Aku sedang berusaha untuk menyedot keluar racun dari luka di betismu, mengapa kau banyak cerewet ?”

Li Eng terkejut, takut, dan juga heran. Alangkah ngerinya kalau betul ucapan itu, dan dia menjadi gila !  Akan tetapi benar-benar amat mengherankan mengapa pemuda ini menolongnya keluar dari lembah, malah sekarang hendak mengobatinya ?  “Biarkan aku duduk menyandar pohon, tak enak terlungkup begini………” akhirnya ia berkata.

“Sesukamulah, tapi kalau terlalu lama penyedotan racun tertunda, aku tidak tanggung lagi kalau kau menjadi gila, lebih gila dari pada anjing yang menggigitmu.”

Li Eng menarik kakinya dan duduk, menyandarkan diri pada batang pohon itu. Ia melomjorkan kakinya agak parah bekas gigitan anjing. Rasa ngeri menyelinap dalam hatinya.

“Apakah………..apakah anjing yang menggigitku tadi gila ?” tanyanya perlahan, tanpa memandang pemuda itu.

“Mudah-mudahan tidak, tapi siapa tahu, anjing-anjing hutan itu liar, hampir semua seperti gila,” jawab pemuda itu. “Cara pengobatan satu-satunya harus menyedot racun keluar dari luka itu.”  Setelah berkata demikian, tanpa minta izin lagi ia lalu mengulangi usahanya tadi, membungkukan badan, mendekatkan mulut kepada kaki Li Eng yang sudah diangkatnya, kemudian ia menempelkan mulutnya pada luka itu dan menghisapnya.

Li Eng meramkan kedua matanya, mukanya merah padam. Celaka, ia telah menerima penghinaan yang hebat dan terus-menerus dari pemuda ini. Ia dikalahkan dalam pertempuran, itu penghinaan pertama, kemudian ia dimaki-maki, itu penghinaan kedua, lalu ia dipanggul sebagai tawanan, penghinaan ke tiga. Kemudian ia dilempar ke dalam lembah anjing hutan, itu penghinaan ke empat dan sekarang ini, penghinaan ke lima, yang paling hebat !  Pemuda itu secara kurang ajar sekali telah menyentuh betis kakinya, memegangnya, tidak itu saja, malah………..di cucupnya betis kakinya dengan mulut. Inilah penghinaan yang tak dapat diampuni lagi. Ia membuka kedua matanya. Melihat pemuda itu membungkuk dengan penuh perhatian dan pengerahan tenaga Iweekang menyedot luka untuk mengeluarkan racun, tiba-tiba Li Eng menggerakan tangan kanannya, dipukulkan ke arah tengkuk Kong Bu dengan jari terbuka.

“Bukk !” Tanpa dapat bersambat lagi pemuda itu roboh terguling dalam keadaan pingsan !  Pukulan Li Eng hebat sekali dan tidak dapat ditangkis oleh pemuda itu yang sama sekali tak pernah menyangka dirinya akan diserang ini. Li Eng meloncat bangun, meringis karena betis kaki kirinya terasa perih sekali, namun ditahannya. Cepat ia menotok punggung Kong Bu untuk mencegah pemuda itu bergerak kalau siuman nanti, kemudian ia mencari akar pohon ini ia membelenggu tangan Kong Bu ke belakang, setelah ini membebaskan pemuda itu dari pada totokan dan dengan merobek sedikit tali pinggang yang panjang ia membalut luka betisnya.

Tak lama kemudian Kong Bu siuman dari pingsannya. Ia cepat meloncat berdiri akan tetapi sebuah tendangan membuat ia terjungkal lagi. Ia rebah miring dan mengangkat kepala memandang kepada gadis yang berdiri sambil tersenyum mengejek amat manisnya itu. Lenyap kebingungan dan keheranan Kong Bu dan mengertilah ia kini mengapa ia tadi pingsan dan mengapa pula kedua tangannya terbelenggu.

“Kenapa………?” Kong Bu menahan kembali pertanyaannya kerena dari senyum dan sinar mata itu ia sudah mendapat jawaban sejelasnya.

“Hi-hik, ada ubi ada talas, ada budi ada balas !”  kata Li Eng, suaranya bening karena sekarang bebas dan malah dapat membalas pulih kembali kejenakaannya dan keriangannya. Berbeda dengan sikap Kong Bu hanya memandang dengan kagum. Entah bagaimana. Setelah Li Eng tidak galak dan pemarah seperti ketika menjadi tawanan, setelah gadis itu mendapatkan kembali sifat pribadinya yang lucu jenaka. Dalam pandang matanya gadis itu  menjadi berubah manis dan jelita.

“Kau boleh bunuh aku. Memang aku patut dibunuh karena kebodohanku, bisa saja diakali oleh seorang gadis liar macam kau. Hemmm, betul Kakek, gadis Hoa-san-pai mana boleh dipercaya? Aku kurang hati-hati. Bunuhlah.”

“Enak saja dibunuh! Pemuda sombong dan gila seperti kau harus mengalami siksaan dan penghinaan lebih dulu sebelum dibunuh!”

Kong Bu tak dapat berkata apa-apa lagi karena ia maklum bahwa gadis ini tentu akan terus meniru kata-katanya, ketika masih menjadi tawanannya. “Sudahlah, kau boleh lempar aku ke lembah itu biar dikeroyok anjing gila,” katanya.

Li Eng menjebirkan bibirnya, luar biasa manisnya dalam pandangan Kong Bu. “Huh, kau mau akali aku, ya? Biar digigit kakimu lalu biar aku menolongmu?”

“Habis, apa yang hendak kaulakukan dengan diriku?”

Li Eng meloncat bangun. “Hayo, bangun berdiri, dan ikut aku!”

Kini tiba-tiba giliran Kong Bu untuk mempermainkan gadis itu, seperti ia dipermainkan ketika menawannya. “Aku tidak sudi!” jawabnya dan baru kali ini pemuda itu memperlihatkan senyumnya, senyum mengejek dan menggoda. Wajah yang tampan itu kelihatan berseri terang ketika tersenyum, lenyap sama sekali bayangan watak keras dan aneh. Li Eng menggigit bibir dan membanting kaki.

“Kau tidak mau turut perintahku?”

Kong Bu menggeleng kepala. “Aku tidak sudi ikut kau, hendak kulihat kau mau apa?”

Celaka, pikir Li Eng dan wajahnya tiba-tiba menjadi merah sekali ketika pandang matanya bertemu dengan mata pemuda itu. Dari sinar mata pemuda itu ia dapat membaca pikiran orang. Kiranya pemuda itu hendak melihat apakah dia juga akan memanggulnya!

“Awas, aku pun bisa menggigit pundakmu!” Kong Bu sengaja mengejek sambil tersenyum. Li Eng makin merah mukanya. Setan alas, sudah menjadi tawanan masih bisa mempermainkannya. Ia lupa betapa ketika ia sendiri menjadi tawanan, ia pun tiada sudahnya mengejek dan memaki pemuda itu.

“Kau kira aku akan sudi memanggulmu? Cih, tak punya malu!” Li Eng lalu menggunakan akar yang panjang dan kuat, diikatkan pada pinggang pemuda itu dan… ia menyeret pemuda itu pergi dari situ!

Kong Bu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Diseret seperti itu ia enak-enak saja telentang dengan mata merem-melek, kelihatan keenakan sekali.

“Kau akan membawaku ke mana?” beberapa kali ia mengajukan pertanyaan ini karena pertanyaan itu diulang-ulang, akhirnya Li Eng dengan gemas menjawab,

“Aku bukan seorang gila seperti engkau dan kakekmu. Karena kau menghina dan memusuhi Hoa-san-pai, aku akan membawamu sebagai tawanan ke Hoa-san-pai, biar Supek yang akan memberi keputusan apakah kau harus dilempar ke jurang ataukah digantung di pohon pek!”

“Ha-ha-ha-ha, bocah sombong, jangan kau hendak membodohi aku,” kata Kong Bu yang masih diseret-seret. “Hoa-san-pai bukan di sebelah sana letaknya, kau mengambil arah yang bertentangan.”

“Huh, aku bukan pembohong seperti kau. Aku mempunyai urusan ke Thai-san lebih dulu, mungkin di Thai-san kau sudah bisa mendapat pengadilan dari Paman Tan Beng San.”

Pemuda itu nampak terkejut sekali. “Ke… ke Thai-san….?”

“Sudahlah, jangan banyak cerewet! Pendeknya kau sekarang menjadi tawananku, kalau kakekmu atau teman-temanmu tidak melepaskan Enci Hui Cu yang tertawan, kau pun takkan kulepaskan. Kalau kalian mengganggu Enci Hui Cu, awas kau, takkan kuampuni lagi!”

Kali ini Kong Bu benar-benar kelihataan gelisah. Ia tidak tahu siapakah itu Hui Cu dan siapa pula yang menawannya, menurut kakeknya, seorang gadis lain dirampas orang dan kakeknya sedang mengejar orang itu. Maka ia diam saja dan membiarkan dirinya diseret-seret sepanjang jalan.

Kita tinggalkan dulu Li Eng dan Kong Bu, dua orang muda yang sama-sama berwatak aneh dan berhati keras itu bersitegang di sepanjang jalan, saling mengejek, saling menawan dan marilah kita mengikuti kisah Hui Cu yang pada malam hari itu dirampas oleh seorang tak terkenal, sesosok bayangan yang amat lihai sehingga mampu merampas gadis ini dari tangan Kakek Song-bun-kwi yang sakti.

Bayangan lihai yang sanggup menggempur Song-bun-kwi dan merampas Hui Cu itu ternyata adalah seorang pemuda tampan yang selalu tersenyum-senyum bibirnya, matanya lebar dan tajam pandangannya, hidungnya mancung dan membayangkan kejujuran dan kekerasan hati. Tubuhnya tinggi semampai, gerak-geriknya gagah membayangkan tenaga yang kuat. Siapakah dia? Kita sudah mengenalnya. Dia ini bukan lain adalah Tan Sin Lee, putera dari Kwa Hong!

Seperti kita ketahui, Sin Lee turun dari puncak Lu-liang-san, turun gunung untuk melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya oleh ibunya. Ia disuruh mencari musuh-musuh ibunya, disuruh membunuh mereka itu dan disuruh pula menangkap dan menyeret Tan Beng San ke Lu-liang-san, ke depan kaki ibunya. Dan di dalam hatinya Sin Lee tidak dapat menerima tugas membunuh-bunuhi orang yang tidak bermusuhan dengannya itu, akan tetapi ia berjanji untuk memenuhi permintaan ibunya dan menyeret Tang Beng San ke Lu-liang-san.

Dalam perjalanannya, orang muda ini tertarik pula untuk melihat keadaan kota raja selatan yang tersohor indah dan ramai. Dan kebetulan sekali pada malam hari itu, dia melihat seorang kakek tinggi besar berlari secepat terbang sambil mengempit tubuh dua orang wanita muda. Kakek ini adalah Song-bun-kwi yang berhasil merampas Hui Cu dan Li Eng dari dalam Istana Kembang. Diam-diam Sin Lee menjadi penasaran dan mengikuti dari belakang. Ia kaget sekali ketika melihat betapa larinya kakek itu cepat sekali, tanda bahwa kakek itu memiliki kepandaian tinggi. Ia tidak berani gegabah turun tangan karena selain maklum bahwa kakek itu tentu seorang berilmu tinggi, juga ia tidak tahu urusan mereka, tidak tahu siapa salah siapa benar. Oleh karena inilah maka ia terus secara diam-diam mengikuti dari jauh dan mengintai ketika kakek itu masuk ke dalam kelenteng. Ketika ia mendengar kata-kata kakek itu bahwa dua orang gadis ini adalah anak murid Hoa-san-pai, Sin Lee makin kaget dan menaruh perhatian. Kata ibunya, kong-kongnya kakeknya adalah ketua dari Hoa-san-pai! Jadi dua orang gadis ini adalah anak murid dari kakeknya! Kagum dia ketika menyaksikan keberanian dua orang gadis itu menghadapi kakek ini yang ia tidak tahu siapa adanya.

Keheranan Sin Lee makin meningkat ketika ia melihat dua orang itu nekat melarikan diri keluar kelenteng dikejar oleh kakek itu dan mendengar ucapan Hui Cu yang hendak membujuk kakek itu agar jangan mengganggu mereka karena mereka adalah keponakan-keponakan dari Tan Beng San dan hendak pergi ke Thai-san! Mendengar ini, Sin Lee mendapat pikiran baik sekali. Ia harus menolong dua orang gadis itu karena mereka adalah anak murid Hoa-san-pai, berarti anak murid kakeknya pula, dan selain itu, mereka itu bisa menjadi perantara agar ia dapat naik ke Thai-san tanpa banyak rintangan, mencari Tan Beng San dan menangkapnya! Inikah sebabnya maka tanpa ragu-ragu lagi Sin Lee menyerang kakek itu dan alangkah heran dan kagetnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kakek itu ternyata memiliki kepandaian yang hebat sekali. Ia menjadi gembira dan sekiranya ia tidak mempunyai maksud menolong dua orang gadis itu, ingin ia menguji kepandaiannya dan melawan kakek itu sampai puas. Akan tetapi keinginannya ini buyar ketika ia mendengar suara melengking dari jauh dan tahu bahwa kakek ini mempunyai pembantu yang sama lihainya, maka cepat ia menyambar Hui Cu dan dibawa lari dari tempat itu. Daripada tidak menolong sama sekali, lumayan juga dapat menolong seorang di antara kedua murid Hoa-san-pai itu.

Hui Cu mengalami kekagetannya ketika tahu-tahu ia dibawa lari seperti terbang oleh seorang laki-laki yang tidak ia lihat mukanya karena keadaan gelap. Ia tidak tahu apakah orang ini lawan ataukah kawan, namun dalam pondongan orang ini ia sama sekali tak dapat bergerak. Sin Lee berlari terus cepat-cepat karena ia tidak ingin kakek itu bersama pembantunya mengejarnya. Andaikata ia tidak hendak menolong orang, tentu saja ia tidak takut, akan tetapi dengan adanya gadis yang ditolongnya ini, tentu takkan leluasa ia bergerak dan akhirnya gadis ini pun akan tertawan pula.

Sampai malam terganti pagi Sin Lee masih terus berlari keluar hutan. Ketika Hui Cu mendapat kesempatan memandang wajah pemondongnya di antara kesuraman cuaca fajar, gadis ini melihat wajah seorang pemuda yang gagah dan tampan. Hatinya berdebar penuh kekuatiran, terutama sekali kalau ia teringat akan nasib Li Eng di tengah kakek yang menyeramkan itu.

“Kau siapakah. Kawan ataukah lawan? Ke mana kau membawaku pergi?” akhirnya ia tak dapat menguasai hatinya, bertanya.

Sin Lee juga kaget. Ia tadi berlari sambil termenung memikirkan apa yang telah ia lakukan. Selama hidup baru kali ini ia memondong wanita, jangankan memondong, biasanya bercakap-cakap atau berdekatan pun belum pernah! Benar-benar pengalaman yang membikin ia bingung dan mendebarkan jantungnya. Ia sampai kaget mendengar suara halus di pinggir kepalanya itu yang menyeret ia kembali kepada kesadarannya. Segera ia, berhenti berlari dan menurunkan gadis itu dari pondongannya, lalu memandang dengan muka merah. Dadanya makin berdebar tidak karuan ketika ia menatap wajah yang cantik manis, penuh ketenangan dan keberanian, apalagi ketika ia bertemu pandang dengan sepasang mata bening yang memandang kepadanya penuh selidik, seakan-akan sinar mata gadis itu mampu menembus dada menjenguk isi hati.

“Eh… maaf… aku bukanlah kawan bukan pula lawan. Tapi… aku harus menyelamatkan Nona dari tangan kakek iblis itu,” katanya agak gugup.

Hui Cu cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat. “Banyak terima kasih atas pertolongan Saudara, akan tetapi… ah, mengapa Saudara kepalang-tanggung menolong kami? Apa artinya aku dapat bebas kalau adikku masih di sana? Sekali lagi terima kasih dan selamat tinggal.” Hui Cu lalu membalikkan tubuhnya dan lari kembali ke arah hutan.

“Eh, Nona… mau ke manakah kau?”

“Ke mana lagi kalau tidak kembali ke sana? Aku harus menolong adikku!” jawab Hui Cu tanpa mengurangi kecepatannya berlari. Pemuda itu melompat dan cepat mengejarnya. Mereka kini lari berendeng.

“Apa kau gila? Kakek itu lihai sekali, kau akan ditawannya kembali.”

“Jangankan ditawan, biar harus berkorban nyawa, aku rela untuk menolong adikku. Kami berdua berangkat bersama, harus pulang bersama atau mati bersama.”

Sinar mata pemuda itu membayangkan kekaguman besar. “Kau hebat, Nona. Inilah namanya setia kawan. Dan ilmu lari cepatmu pun boleh juga.”

Senang hati Hui Cu dipuji oleh pemuda penolongnya yang ia tahu amat tinggi kepandaiannya itu. “Ah, mana bisa dibandingkan dengan kau?” Ia melirik, justeru Sin Lee pun mengerling. Dua pasang mata bertemu dalam kerlingan, dua buah mulut tersenyum dan sekaligus dua buah muka para remaja itu menjadi merah, jantung mereka berdetak liar. Mereka berlari terus tanpa mengeluarkan kata-kata lagi.

“Eh, kemana jalannya? Aku bingung, tidak ingat lagi….” kata Hui Cu. Malam tadi ia dipondong, tentu saja tidak tahu jalan. Pemuda itu tersenyum lalu berkata singkat,

“Kau ikutilah aku!” lalu ia membelok dan memasuki hutan. Sin Lee sengaja tidak mau mengambil jalan semalam karena ia masih kuatir kalau-kalau bertemu dengan para pengejarnya. Ia kuatir kalau-kalau gadis yang luar biasa ini akan tertawan pula oleh lawan-lawan yang amat sakti itu. Namun ia mengambil jalan yang terdekat menuju ke tengah hutan di mana terdapat kelenteng tua itu,

Ketika kelenteng itu sudah tampak, Sin Lee menahan Hui Cu. “Nona, kau bersembunyilah di sini. Biar aku pergi menyelidiki ke sana dan kalau ada kesempatan, akan kucoba rampas adikmu itu.”

Hui Cu maklum bahwa kepandaiannya masih jauh untuk dapat membantu penolongnya ini melawan kakek yang sakti itu, maka ia mengangguk dan memandang kepada Sin Lee dengan mesra, penuh pernyataan syukur dan terima kasih. Jantung pemuda ini serasa berloncatan ketika ia melihat pandang mata itu, dan dengan hati senang sekali mulailah ia menyelinap dan menyusup ke dalam semak-semak, berloncatan di antara pohon-pohon mendekati kelenteng. Dari jauh Hui Cu memandang dengan kagum karena gerakan Sin Lee memang luar biasa sekali gesitnya, kadang-kadang pemuda itu melayang ke atas pohon seperti seekor burung garuda saja sikapnya.

Tak lama kemudian, Sin Lee sudah kembali ke depan Hui Cu. Wajah pemuda ini kelihatan kecewa dan suaranya membayangkan kekecewaan pula ketika ia berkata,

“Nona, aku tidak melihat seorang pun di antara mereka di sana. Kelenteng itu kosong sama sekali.”

Wajah Hui Cu seketika menjadi pucat dan dengan isak tertahan gadis ini melompat dan lari menuju kelenteng itu, diikuti dari belakang oleh Sin Lee. Hui Cu menyerbu ke dalam kelenteng, mencari ke depan, ke belakang sambil memanggil-manggil nama Li Eng, namun sia-sia belaka, di situ sunyi tidak terdapat orang yang dicarinya, bahkan bekasnya pun tidak nampak.

“Eng-moi… aduh Eng-moi…. bagaimana nasibmu….?” Hui Cu menjatuhkan diri terduduk di atas lantai dan menutupi muka. Ia tidak menangis keras-keras, namun dari pundaknya yang bergoyang-goyang dan dari celah-celah jari tangan yang membasah tahulah Sin Lee bahwa gadis ini menangis sedih sekali. Akhirnya Hui Cu dapat menguasai perasaannya dan ia bangun berdiri, mengeringkan air mata yang membasahi pipinya, memandang kepada Sin Lee dengan sedih lalu berkata sambil membanting kaki,
“Celaka sekali, kemana aku harus mencari Eng-moi? Ah, kalau dia sampai kena celaka, bagaimana aku harus bicara dengan Paman dan Bibi?”

Sin Lee mengerutkan keningnya tanda bahwa ia ikut berpikir keras. Ia mengandung maksud hati hendak mempergunakan anak murid Hoa-san-pai yang mengaku sebagai keponakan Tan Beng San ini untuk memaksa musuh besar ibunya itu memenuhi permintaannya, yaitu pergi menghadap ibunya di Lu-liang-san. Diam-diam ia tadinya hendak menjadikan gadis ini sebagai tawanannya untuk memaksa Tan Beng San. Akan tetapi satelah ia melihat wajah Hui Cu dan melihat keadaan gadis ini, entah bagaimana timbul perasaan kasihan dalam hatinya.

“Nona, menyesal sekali malam tadi aku tidak mampu menolong adikmu. Jadi dia itu anak pamanmu? Hemm, agaknya dia dibawa pergi oleh kakek siluman itu. Kalau kau bisa beritahukan kepadaku siapa adanya kakek iblis itu, kiranya aku suka untuk membantumu mengejarnya dan merampas kembali adik misanmu. Siapakah kakek itu?”

“Aku sendiri tidak tahu.” Hui Cu menarik napas panjang, bingung sekali tampaknya. “Ah… benar-benar nasib kami buruk Paman Hong masih belum kuketahui bagaimana nasibnya di tangan Pangeran jahat itu, sekarang Adik Eng terculik oleh kakek iblis pula….”

“Paman Hong siapakah?”

Karena Sin Lee, dianggapnya satu-satunya orang yang pada saat itu boleh ia ajak bicara, dengan singkat Hui Cu lalu menceritakan pengalamannya, yaitu semenjak ia dan Li Eng turun dari Hoa-san dengan tujuan pergi ke Thai-san menghadiri pesta upacara pendirian partai Thai-san-pai, mewakili Hoa-san-pai. Kemudian di tengah jalan bertemu dengan Kwa Kun Hong, paman seperguruan mereka dan melanjutkan perjalanan dengan singgah ke kota raja. Diceritakannya pula undangan Pangeran Kian Bun Ti yang mengakibatkan mereka ditahan karena menolak pemberian anugerah.

“Aku dan Adik Eng dipisahkan dari Paman Hong, kemudian pada malam hari itu kakek iblis merampas kami dari tempat tahanan di Istana Kembang, lalu kakek itu membawa kami ke kelenteng ini. kemudian kau datang menolongku.”

Sin Lee tertarik sekali, terutama mendengar tentang maksud gadis ini pergi ke Thai-san untuk memberi selamat kepada Tan Beng San. Ingin ia bertanya lebih jelas tentang ini, akan tetapi Sin Lee adalah seorang yang cerdik. Ia tidak mau mengutarakan rahasia hatinya dan ia berkata heran,

“Aneh sekali kakek iblis itu. Mengapa dia begitu benci kepada kau dan adik misanmu, Nona? Apakah di antara dia dan kalian ada permusuhan?”

Hui Cu menggeleng kepalanya, akan tetapi entah bagaimana, ia menaruh kepercayaan besar kepada pemuda yang telah menolongnya ini, maka ia berkata secara terus terang, “Melihat sikap dan mendengar bicaranya, dia amat membenci Hoa-san-pai, apalagi anak murid Hoa-san-pai yang wanita. Agaknya kakek itu mengandung sakit hati yang hebat sekali terhadap seorang wanita anak murid Hoa-san-pai.” Ia mengangguk-angguk untuk meyakinkan dugaannya.

Jantung Sin Lee berdebar. “Siapakah dia anak murid wanita Hoa-san-pai yang dapat membuat sakit hati seorang kakek begitu lihai?”

“Aku sendiri pun tidak tahu, akan tetapi aku dapat menduga… hemmm, tidak bisa lain, kalau ada tokoh kang-ouw seperti kakek itu bisa sakit hati terhadap murid wanita Hoa-san-pai, tentulah… dia siapa lagi?”

“Dia… siapakah, Nona? Atau… barangkali sebagai orang luar aku tidak berhak mengetahui?”

Mendengar suara pemuda itu mengandung kekecewaan, hati Hui Cu menjadi tak enak. Tidak apa diberi tahu, pikirnya. “Menurut dugaanku, murid wanita yang banyak musuhnya dari Hoa-san-pai adalah bibi guruku sendiri, namanya Hong, she Kwa, entah di mana sekarang….”

Sin Lee menjadi pucat sekali mukanya, cepat-cepat ia membungkuk dan pura-pura membersihkan sepatunya yang penuh lumpur. Ketika ia mengangkat lagi tubuhnya, mukanya menjadi merah sekali.

“Apakah… apakah bibi gurumu itu… dahulunya amat jahat maka banyak musuhnya?” ia bertanya, suaranya biasa akan tetapi perlahan sekali.

“Banyak orang bilang, begitu, tapi ibuku tidak! Kata Ibu, Bibi Kwa Hong itulah yang telah menyelamatkan nyawa Ibu dan aku ketika dalam kandungannya, dan kata Ibu, Bibi Kwa Hong jadi berubah perangainya karena patah hati, entah apa maksudnya Ibu tidak mau menceritakan kepadaku.”

Sunyi sesaat, dan suara Sin Lee makin perlahan ketika ia bertanya, sambil lalu saja, “Jadi kau tidak membencinya?”

“Ah, tidak….! Malah aku kasihan kepada Bibi Kwa Hong dan ingin sekali aku bertemu dengannya. Kata Ibu, Bibi Kwa Hong orangnya lincah gembira seperti Adik Eng dan cantik sekali.”

Gadis itu tidak tahu bahwa ucapannya ini membuat hati Sin Lee girang bukan main! Mana dia tahu bahwa orang yang dibicarakan itu, Kwa Hong, adalah ibu dari pemuda yang sekarang berada di depannya.

“Nona, percayalah, aku Sin Lee akan berusaha menemukan kembali adik misanmu Nona Li Eng itu dan aku… aku sekarang dapat menduga siapa adanya kakek iblis itu. Hemmm, kalau saja aku tahu sebelumnya bahwa dia adalah iblis itu, takkan kutinggalkan dia sebelum berhasil membunuhnya. Kiranya ia benar-benar jahat sekali.”
“Kau… kau tahu siapa kakek itu?”

“Aku dapat menduga, kalau tidak salah dialah yang berjuluk Song-bun-kwi.”

“Ah, dia….?” Wajah Hui Cu menjadi pucat. “Pernah Ibu bercerita kepadaku tentang dia… dia tokoh besar puluhan tahun yang lalu. Benarkah dia itu Song-bun-kwi?”

“Kiraku tidak keliru dugaanku. Nona, bolehkah aku mengetahui namamu?”

Pandang mata Hui Cu menunduk. Pemuda ini benar-benar amat baik, sopan dan ramah, tapi juga agak aneh sikapnya. “Aku Hui Cu, she Thio. Kau sendiri she apakah?”

“Aku she Tiauw, Tiauw Sin Lee.” Ia sengaja menggunakan she (nama keturunan) Tiauw yang berarti rajawali karena setelah gadis ini tahu soal ibunya, ia tidak berani memakai she Kwa atau she Tan agar gadis ini tidak mencurigainya.

“Sekarang apa yang hendak kaulakukan, Nona? Apakah kau hendak melanjutkan perjalananmu ke Thai-san?”

Hui Cu menggeleng kepala. “Mana bisa aku pergi ke sana kalau Paman Hong masih ditahan di kota raja? Aku harus berusaha membebaskan Paman Hong dari tahanan.”
“Dalam ceritamu tadi kau bilang bahwa pamanmu Kwa Kun Hong itu adalah putera tunggal Ketua Hoa-san-pai, Kakek gurumu. Tentu ia lihai sekali, bagaimana ia bisa tertawan?”

Hui Cu menarik napas panjang. “Kau tidak tahu tentang Paman Hong. Dia itu orang aneh sekali, biarpun dia itu putera Ketua Hoa-san-pai, namun sedikit pun ia tidak pandai ilmu silat, malah tidak pernah belajar ilmu silat. Ia adalah ahli dalam ilmu kesusastraan, akan tetapi keberaniannya luar biasa melebihi jago silat yang manapun juga.” Lalu ia menceritakan betapa Kun Hong berani menolak anugerah Pangeran, malah menceritakan betapa pemuda yang tidak pandai ilmu silat itu menggegerkan pemilihan ketua Hwa-i Kai-pang dan malah diangkat menjadi ketua perkumpulan pengemis yang berpengaruh itu!

Sin Lee mendengarkan dengan penuh keheranan dan kekaguman. “Hebat pamanmu itu, ingin sekali aku bertemu dan bercakap-cakap dengan dia. Marilah kita tolong dia keluar dari tahanan, Nona. Akan tetapi karena kau sudah banyak dikenal, tentu munculmu di kota raja akan mendatangkan keributan dan kesukaran, maka kurasa lebih baik kau bersembunyi di luar tembok kota dan biarlah aku seorang diri pergi menyelidiki keadaan pamanmu itu. Kalau mungkin aku akan turun tangan, kalau sekiranya sukar, kita berdua bisa bergerak malam nanti.

Hui Cu girang sekali. “Saudara Tiauw, kau benar-benar telah melepas budi banyak kepadaku. Kau baik hati sekali dan ilmu silatmu amat lihai. Tidak tahu kau ini murid siapa dan dari golongan manakah?”

Sin Lee tersenyum. “Tak usah sungkan, Nona. Sudah semestinya manusia saling menolong dalam kesukaran dan sudah menjadi kewajibanku untuk menentang yang jahat membela yang tertindas. Adapun ilmu silatku yang masih dangkal ini kupelajari dari ibuku sendiri, bukan dari golongan manapun juga. Harap kau jangan memuji terlalu tinggi.”

Demikianlah keduanya lalu meninggalkan kelenteng itu menuju ke kota raja. Inilah sebabnya Song-bun-kwi tidak dapat mengejar mereka karena kakek itu tentu saja sama sekali tak pernah mengira bahwa dua orang itu malah kembali ke kelenteng mengambil jalan lain kemudian malah pergi kota raja!

Ditemani Sin Lee yang gagah perkasa sopan terhadap dirinya. Hui Cu menjadi besar hati dan ia hampir merasa yakin bahwa kalau pemuda ini mau membantunya, pasti pamannya akan dapat dibebaskannya dan agaknya soal Li Eng juga akan dapat dibereskan. Pada saat itu Hui Cu sedang diliputi kekuatiran hebat, kuatir memikirkan nasib Kun Hong. Oleh karena inilah maka ia tidak dapat merasa terlalu sungkan berduaan dengan Sin Lee pemuda kenalan baru itu. Andaikata ia tidak sedang menghadapi dua perkara yang menggerogoti hatinya ini, kiranya ia akan merasa sungkan dan malu mengadakan perjalanan berdua saja dengan seorang pemuda asing.

Setibanya di luar tembok kota raja, Hui Cu lalu bersembunyi di suatu tempat dan Sin Lee meninggalkannya, masuk seorang diri ke kota raja. Segera ia mencari keterangan dan kabar untuk mengetahui di mana ditahannya pemuda Hoa-san-pai bernama Kwa Kun Hong itu. Akan tetapi keterangan yang ia dapatkan membuat ia terkejut dan juga bingung.

Keterangan apakah yang ia dapat? Tidak hanya dari satu dua orang. Malah ia sengaja menangkap seorang pengawal istana dan dl tempat tersembunyi ia mengancam pengawal itu untuk mengaku dan memberi keterangan tentang Kwa Kun Hong. Dan keterangan pengawal ini sama dengan keterangan yang ia dapat di luaran, yaitu bahwa pemuda Hoa-san-pai yang ditahan karena berani membangkang terhadap perintah Pangeran Mahkota itu telah ditolong oleh… setan dan lenyap tak berbekas!

“Hanya setan yang dapat menolong dia secara itu,” demikian keterangan yang ia dapat. “Pemuda itu tahu-tahu lenyap dari dalam kamar tahananan dan sebagai gantinya Pangeran Mahkota sendiri yang berada di situ, yang marah-marah kepada penjaga minta dibebaskan. Setelah para penjaga membuka pintu, Pangeran Mahkota keluar dan memerintahkan semua penjaga masuk dalam kamar tahanan lalu dikunci dari luar. Nah, bukankah itu aneh? Padahal Pangeran Mahkota berada di dalam istananya, tak pernah keluar, apalagi ke kamar tahanan. Masa pemuda itu bisa berubah menjadi Pangeran? Hanya setan yang dapat menolongnya seperti itu.”

Hui Cu juga bengong terlongong mendengar cerita Sin Lee atas hasil penyelidikahnya ini. “Heran sekali, mana bisa terjadi begitu? Paman Hong memang aneh dan berani, akan tetapi ia sama sekali tidak mempunyai kepandaian silat. Siapa gerangan yang telah menolongnya? Kalau memang ada seorang sakti menolongnya, mengapa caranya seaneh itu?”

Sin Lee tersenyum. “Berita ini tidak bohong, aku malah mendapatkan keterangan dari seorang pengawal istana yang kutangkap. Setan atau bukan, sudah terang pamanmu ditolong dan sudah tidak ditahan lagi. Sekarang, apa kehendakmu, Nona?”

“Semua ini aneh sekali. Adik Eng berada di tangan seorang sakti, juga Paman Hong kalau dibawa oleh penolongnya, berarti dia berada di tangan orang yang sakti dan aneh. Kupikir lebih baik aku ke Thai-san menjumpai Paman Tan Beng San yang oleh ayah ibuku dianggap orang terpandai di dunia ini. Kalau tidak Paman Tan Beng San yang menolong, siapa lagi?”

Ucapan gadis ini menimbulkan perasaan campur aduk di hati Sin Lee. Ia girang karena memang itulah kehendaknya, dapat pergi ke Thai-san bersama gadis ini yang hendak ia pergunakan sebagai alat untuk memaksa agar Tan Beng San mau menghadap ibunya. Akan tetapi ia juga tak senang mendengar betapa gadis ini memuji Tan Beng San musuh besar ibunya itu sebagai “orang terpandai di dunia”. Huh, ingin ia membuktikan sendiri sampai di mana kelihaian Tan Beng San itu.

“Baiklah kalau begitu, Nona Thio. Mari kuantar kau ke Thai-san.”

Merah wajah Hui Cu. Kalau begini sudah keterlaluan, pikirnya. “Ah, Saudara Tiauw, mana aku berani membikin kau repot? Budimu sudah terlalu besar bagiku, tak usah kau tambah lagi dengan mengantar aku ke Thai-san. Kau membikin aku menjadi malu saja.”

Sin Lee tersenyum, diam-diam ia makin kagum akan sikap gadis ini. Sederhana, tenang, tabah, dan bicaranya sungguh-sungguh tanpa dibuat-buat serta memiliki pandangan jauh.

“Nona, sama sekali bukan begitu. Mana kau merepotkan aku kalau aku sendiri pun hendak pergi ke sana? Aku memang hendak mengunjungi Thai-san, hendak melihat upacara dan hendak bertemu dengan Bu-tek Kiam-ong Tan Beng San yang namanya malah lebih tinggi daripada puncak Gunung Thai-san itu.” Dalam kata-kata terakhir ini terkandung ejekan.

“Betulkah begitu?” Hui Cu berkata girang, “Kalau memang begitu, tentu saja aku… senang sekali dapat melakukan perjalanan bersama denganmu, Saudar Tiauw.”
Sin Lee menjura dan tersenyum “Syukur sekali kau sudi, Nona. inilah jawaban yang amat kuharapkan.”

Demikianlah, dua orang muda itu melakukan perjalanan bersama menuju ke Thai-san. Mula-mula Hui Cu memang merasa agak tidak enak dan kikuk harus melakukan perjalanan bersama seorang pemuda yang bukan kerabatnya, akan tetapi berkat sikap Sin Lee yang sopan dan memang pemuda ini wataknya riang gembira, akhirnya lenyap ketidak enakan hati gadis itu dan mereka bergaul seperti sahabat-sahabat lama. Sekarang kita perlu menyelidiki tentang keadaan Kun Hong. Betulkah pemuda ini telah ditolong setan atau ditolong seorang sakti? Seperti telah kita ketahui, Kun Hong diperiksa oleh Tan-taijin yang dahulu adalah sahabat baik tokoh-tokoh Hoa-san-pai dan karenanya merasa suka dan simpati kepada putera Ketua Hoa-san-pai ini. Karena Tan-taijin ingin sekali menolong, dua orang gadis murid Hoa-san-pai itu dari cengkeraman Pangeran Mahkota, maka ia menyuruh para pengawal menahan kembali Kun Hong dalam penjara dengan pesan agar Kun Hong diperlakukan sebagai tamu.

Betapapun juga, para pengawal yang tidak mau mengambil resiko terlalu besar tentu saja tidak membiarkan Kun Hong bebas. Pemuda ini tidak dibelenggu, akan tetapi dimasukkan kamar tahanan yang terkunci dari luar dan pemuda ini kelihatan dari luar melalui sebuah jendela yang dipalangi ruji-ruji besi.

Setelah dimasukkan lagi ke dalam kamar tahanan. Kun Hong merenung. Celaka, pikirnya, sama sekali ia tidak sangka akan begini berlarut-larut urusan itu. Ia memikirkan nasib dua orang keponakannya. Bagaimana kalau pangeran mata keranjang itu mempergunakan kekuasaannya dan melakukan paksaan? Ah, dialah yang bertanggung jawab atas keselamatan dua orang keponakannya. Bukankah mereka itu hanya dua orang gadis muda dan bukankah dia menjadi pamannya? Celaka, semua adalah salahku. Seandainya mereka tidak bertemu dengan aku, kiranya mereka takkan mengalami nasib seperti sekarang ini. Ah, bagaimanapun juga aku harus menolong mereka, menolong mereka bebas dari cengkeraman Pangeran Mahkota. Harus! Aku harus menolong mereka. Tapi, bagaimana caranya?

Ketika seorang pengawal membuka pintu kamarnya membawa satu baki penuh dengan hidangan yang lezat, teringatlah Kun Hong peristiwa dengan Sin-eng-cu Lui Bok yang dahulu menyihirnya sehingga roti kering berubah menjadi roti lunak dan air tawar berubah menjadi arak! Mengapa tidak ia coba kepandaian ini? Sudah lama ia mempelajari ilmu menguasai semangat yang kitabnya ia terima dari kakek sakti itu. Belum pernah ia mencobanya, akan tetapi sekarang menghadapi malapetaka yang mengancam kedua orang keponakannya, terpaksa harus ia coba dalam usahanya menolong mereka.

“Orang muda, silakan makan. Masih baik nasibmu bahwa Tan-taijin memerintahkan supaya kau diperlakukan dengan baik, kalau tidak, hemm… jangan harap bisa mendapat hidangan seperti ini,” kata pengawal itu yang merasa mendongkol juga, karena biasanya kalau ada seorang tahanan, ia dan teman-temannya mendapat kesempatan untuk memeras tahanan itu sehingga keluarga si tahanan mengeluarkan “uang arak” agar si tahanan diperlakukan baik-baik. Terhadap Kun Hong mereka tidak bisa memeras, karena takut kepada Tan-taijin.

Kun Hong tiba-tiba bangkit berdiri dari bangkunya dan membentak sambil memandang tajam, “He, pengawal terhadap aku, Pangeran Mahkota, kau berani bersikap kurang ajar? Apa kau minta dihukum mati?”

Pengawal itu kaget, memandang dan… matanya terbelalak dan mulutnya ternganga. Yang berdiri di depannya bukanlah pemuda itu tadi, melainkan Pangeran Mahkota yang memandang marah. Cepat-cepat ia menjatuhkan diri berlutut. “Ini… ah, bagaimana… hamba mohon beribu ampun….” katanya gagap dengan seluruh tubuh menggigil ketakutan.

Girang sekali hati Kun Hong ketika melihat percobaan ilmunya itu berhasil. Ia telah berhasil menguasai semangat dan pikiran pengawal ini dengan pengaruh ilmunya. “Lekas panggil semua pengawal ke sini. Cepat!” bentaknya. Pengawal itu mengangguk-angguk lalu merangkak mundur, keluar dari kamar itu dan berlari-lari memanggil teman-temannya. Sementara itu Kun Hong mengerahkan seluruh kekuatan ilmunya untuk menguasai belasan orang pengawal yang memasuki kamar tahanan itu. Mereka semua menjatuhkan diri berlutut di dalam kamar itu, seperti pengawal tadi mereka mohon ampun! “Karena orang muda itu tidak bersalah, aku telah membebaskannya. Kalian ceroboh benar, sampai masukku dan keluarnya orang muda itu tidak melihat. Hemm! kalian harus dihukum,” bentaknya.

Belasan orang itu mengangguk-angguk minta ampun. Takut bukan main hati mereka karena Pangeran Mahkota terkenal bengis terhadap para pengawal.

“Sementara kalian tinggal di kamar ini, jangan keluar. Berikan kuncinya!”

Pengawal yang mengantar makanan tadi cepat merangkak maju dan menyerahkan kunci kamar itu. Kun Hong menyambarnya, terus berjalan keluar dengan tenangnya dan mengunci pintu kamar tahanan itu dari luar. Kemudian, seperti orang berjalan keluar dari rumahnya sendiri, dia keluar dari rumah tahanan itu tanpa ada yang merintanginya karena semua pengawal sudah ia keram dalam kamar tahanan. Ia berjalan terus di jalan besar, bercampur dengan orang banyak dan pergi menuju ke Istana Kembang. Akan tetapi alangkah susah hatinya ketika ia mendengar peristiwa hebat yang menjadi buah bibir penduduk kota raja, yaitu tentang seorang kakek yang menyerbu Istana Kembang, membunuhi para pengawal dan seisi istana, dan menculik pergi dua orang keponakannya. Ia bingung dan tidak tahu siapakah kakek itu, penolongkah atau penjahatkah? Kalau dilihat bahwa dua orang keponakannya dibebaskan dari istana, berarti menolong, akan tetapi kalau diingat bahwa kakek itu amat kejam, membunuhi semua pengawal dan pelayan, benar-benar mengerikan sekali, seperti bukan perbuatan manusia.

About Lenghou Tiong


Leave a comment