Pendekar Bodoh ~ Jilid 21

Akan tetapi, Kiam Ki Sianjin benar-benar hebat dan luar biasa sekali ilmu silatnya. Biarpun ia merasa terkejut melihat ilmu pedang yang seumur hidupnya belum pernah disaksikan itu, namun pengalamannya membuat ia dapat menduga ke mana arah tujuan pedang Cin Hai dan dapat menjaga diri dengan baiknya serta dapat pula melancarkan serangan balasan yang tak kalah hebatnya.

Kedua orang ini bertempur mengadu ilmu sampai tiga ratus jurus lebih dan para penonton telah merasa pening karena terpengaruh oleh gerakan pedang yang dimainkan secara hebat itu. Bahkan Kwee An sampai menjadi merah matanya karena tidak tahan melihat menyambarnya sinar pedang, juga para perwira yang tadinya berseru-seru kini tidak bergerak dan memandang dengan muka pucat. Banyak di antara mereka yang mengalirkan air mata karena mata mereka terasa pedas sekali sehingga terpaksa mereka mengalihkan pandangan matanya dan tidak langsung memandang ke arah pertempuran.

Hanya Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng saja yang masih sanggup menonton dengan tertariknya, akan tetapi juga kedua orang ini agak pucat karena maklum bahwa sekarang sedang berlangsung pertandingan tingkat tinggi yang langka terlihat. Mereka makin kagum saja kepada Cin Hai yang bagaikan sebuah batu mustika, baru sekarang tergosok dan kelihatan betul-betul sinar dan nilainya. Kedua tokoh besar ini diam-diam menghela napas saking tertarik dan kagumnya. Biarpun di luarnya tidak menyatakan perubahan, namun sebetulnya Kiam Ki Sianjin telah merasa lelah sekali dan rasa penasaran dan marah telah berkobar di dadanya yang membuat seluruh tubuhnya terasa panas sekali. Inilah kesalahannya dan ia pun maklum akan hal ini, akan tetapi ia tidak berdaya. Nafsu marah dan penasaran yang sudah lama dapat ditenggelamkan di dasar hatinya, kini tiba-tiba melonjak dan timbul pula dengan serentak, maka tentu saja tangannya menjadi makin lemah.

Baiknya Cin Hai memang tidak bermaksud membunuh atau melukainya, karena betapapun juga, pemuda ini merasa kasihan melihat kakek yang amat tua hingga merupakan rangka hidup ini. Ia dapat menduga bahwa kakek ini telah mulai lelah, maka ia mendesak makin hebat dengan maksud agar kakek ini dapat menyerah karena kelelahannya.

Benar saja, desakannya telah membuat Kiam Ki Sianjin merasa lelah sekali. Tubuhnya telah penuh keringat dan napasnya mulai terengah-engah hingga membuat gerakannya menjadi lambat. Pada suatu kesempatan yang baik, tiba-tiba pedang Cin Hai menusuk ke arah leher kakek itu. Kiam Ki Sianjin tiba-tiba melakukan gerakan nekad sekali dan tanpa mempedulikan tikaman pedang Cin Hai, ia membalas menikam ke arah dada Cin Hai. Ternyata bahwa dalam keadaan putus asa, kakek ini hendak mengajak mati bersama.

Cin Hai terkejut sekali. Cepat ia menarik kembali pedangnya dan dihentakkan untuk menangkis pedang lawannya. Kiam Ki Sianjin merasa betapa pedang pemuda itu menempel keras pada pedangnya dan ia pun lalu mengerahkan tenaga dalam dan mengait pedang Cin Hai dengan kaitan pedangnya. Kedua lawan tua dan muda ini saling mengerahkan tenaga lweekang dan pedang mereka saling melengket bagaikan menjadi satu. Keduanya tidak bergerak, saling pandang bagaikan dua buah patung, tangan kanan memegang pedang yang saling menempel, tangan kiri diacungkan ke atas dengan jari-jari tangan terbuka seakan-akan menerima kekuatan dari atas. Tiba-tiba terdengar suara “krak!” yang keras sekali dan pedang di tangan Kiam Ki Sianjin telah patah menjadi dua. Dan secepat kilat Cin Hai melompat mundur dan berjungkir balik sampai lima kali di udara untuk menghindarkan diri dari serangan tenaga dalam kakek luar biasa itu. Ternyata ketika tadi ia mengerahkan tenaga dalamnya sampai sepenuhnya, tiba-tiba kakek itu menarik kembali tenaganya hingga pedangnya menjadi patah. Cin Hai terkejut dan menyangka bahwa penarikan tenaga ini adalah siasat yang hendak digunakan untuk memukulnya selagi ia kehabisan tenaga, maka ia lalu berjungkir balik di udara.

Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa sebenarnya kakek itu telah kehabisan napas dan tenaga. Ia telah amat tua dan tenaganya banyak berkurang maka sekarang menghadapi Cin Hai setelah tadi melawan keroyokan Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng, ia tidak-kuat lagi dan tenaganya runtuh. Ketika semua orang memandang ternyata Kiam Ki Sianjin masih berdiri dengan pedang potong di tangan, tanpa bergerak sedikit pun dan kedua matanya masih meram.

Cin Hai mendekati dan melihat keadaan Kiam Ki Sianjin, ia menjadi terkejut dan menyesal, karena ia tahu bahwa kakek itu telah putus nyawanya karena serangan dari dalam. Ini hanya terjadi kalau orang terlalu marah.

Seorang perwira menghampiri tubuh Kiam Ki Sianjin yang masih berdiri diam dan hendak menariknya.

“Jangan!” teriak Cin Hai dan maju melompat hendak mencegah.

Akan tetapi terlambat. Ketika perwira itu memegang lengan Kiam Ki Sianjin dan hendak menolong dan menuntunnya, tiba-tiba ia menjerit ngeri dan terjengkang ke belakang bagaikan mendapat pukulan hebat. Sementara itu tubuh Kiam Ki Sianjin lalu roboh ke depan dalam keadaan masih kaku.

Perwira itu roboh dan tewas di saat itu juga oleh karena ia terkena hawa dari tenaga dalam yang masih terkumpul di lengan tangan kakek itu dan biarpun ia telah mati, akan tetapi tubuhnya masih hangat dan hawa tenaga keluar dan menghantam perwira itu hingga binasa.

Dengan menyesal, Cin Hai lalu mengajak kawan-kawannya lari dari tempat itu untuk menghindari pertempuran-pertempuran selanjutnya, oleh karena mereka maklum bahwa kematian kakek ini tentu takkan dibiarkan saja oleh para perwira tadi!

Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu tiada habisnya memuji-muji kelihaian Cin Hai yang diterima dengan ucapan merendah oleh pemuda ini. Juga Kwee An, biarpun tidak mengucapkan sesuatu, namun pandangan matanya kepada pemuda itu berubah penuh hormat dan bangga serta memandang tinggi.

Nelayan Cengeng lalu menceritakan bahwa dalam usahanya mencari jejak Lin Lin dan Ma Hoa, di jalan ia bertemu dengan Eng Yang Cu yang telah dikenal baik. Eng Yang Cu mendengar tentang penderitaan yang dialami oleh muridnya, maka mereka berdua merasa marah sekali kepada Hai Kong Hosiang lalu mencarinya ke kota raja untuk mengedu kepandaian dan membalas sakit hati keluarga Kwee An. Akan tetapi, ternyata bahwa mereka tak dapat menemukan Hai Kong Hosiang, sebaliknya bertemu dengan Kiam Ki Sianjin yang menyerang mereka dengan hebat ketika mendengar bahwa mereka datang hendak membunuh Hai Kong Hosiang!

Setelah menceritakan pengalaman masing-masing, Cin Hai lalu menceritakan kepada Eng Yang Cu tentang ikatan jodoh antara Kwee An dan Ma Hoa dan minta pertimbangan orang tua ini. Cin Hai yang tahu bahwa Kwee An tentu tidak berani bicara sendiri, telah mewakili pemuda itu. Eng Yang Cu tertawa bergelak-gelak ketika mendengar ini.

“Ha, ha, ha! Aku sudah tahu tentang hal ini dan Nelayan Cengeng telah berunding denganku. Tentu saja Pinto merasa bersyukur sekali, dan pinto yakin bahwa murid Si Cengeng ini tentu seorang nona yang baik asal saja sifat cengeng dari gurunya tidak menurun kepadanya!”

Nelayan Cengeng tertawa bergelak.

“Eng Yang Cu, begitulah kalau orang selamanya membujang! Tidak tahu akan sifat wanita. Wanita manakah yang tidak cengeng? Ha, ha, ha!”

Ketika mereka berempat sedang mengobrol gembira, tiba-tiba terdengar suara yang datangnya dari jauh sekali akan tetapi cukup jelas,

“Orang Turki dan kedua nona berada di bukit utara dekat tapal batas!”

Mendengar suara tanpa rupa ini, Cin Hai segera berlutut memberi hormat ke arah suara itu.

“Siapakah yang bicara dan memiliki khikang mujijat itu?” tanya Eng Yang Cu.

“Suhu sendiri yang memberi tahu bahwa mereka berada di utara!” kata Cin Hai yang lalu mengangguk-anggukkan kepala menghaturkan terima kasih kepada gurunya.

Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu saling pandang dan mereka ini kagum sekali akan kelihaian Bu Pun Su yang telah dapat mengirim suara dari tempat jauh. Kwee An merasa girang sekali dan setelah kedua orang tua itu berjanji hendak menghadiri perjodohan mereka, keduanya lalu pergi ke lain jurusan. Kwee An dan Cin Hai dengan hati girang lalu mempergunakan ilmu lari cepat untuk menuju ke utara, di mana kekasih mereka telah menanti dengan hati rindu!

Kwee An dan Cin Hai yang melakukan perjalanan dengan cepat sekali, beberapa hari kemudian telah tiba di pegunungan di utara dekat tapal batas. Mereka mulai mencari-cari hingga akhirnya tibalah mereka di dalam sebuah dusun di dekat lereng tempat tinggal Yousuf. Ketika mereka bertanya kepada penduduk kampung tentang rumah seorang Turki dengan dua orang nona Han, mereka segera disambut oleh kepala kampung itu yang juga seorang Han dan berpakaian sebagai pembesar kampungan. Orang ini bertubuh pendek dan ramah tamah sekali. Ia menyatakan kenal baik kepada Yousuf karena sering kali saling mengunjungi dan bercakap-cakap.

Bukan main girangnya hati Kwee An dan Cin Hai yang menjadi berdebar ketika mengetahui bahwa rumah kekasih mereka telah dekat di depan! Kepala kampung yang baik hati dan ramah tamah itu bahkan lalu mengantar mereka menuju ke rumah Yousuf yang berada di lereng sebelah kiri dusun itu.

Ketika mereka telah melihat rumah kecil indah yang dikelilingi bunga-bunga itu dari jauh tiba-tiba dari atas bukit yang tak jauh dari situ terdengar suara pekik burung merak yang nyaring sekali. Cin Hai teringat akan Nelayan Cengeng tentang Merak Sakti, maka hatinya tertarik sekali dan ia lalu berkata kepada Kwee An,

“Saudara Kwee An, kau pergilah ke sana dulu dengan Chungcu (Kepala kampung) aku ingin sekali melihat burung aneh itu.”

Kwee An tersenyum dan ia maklum bahwa selain tertarik hatinya oleh burung merak itu, juga Cin Hai hendak menyembunyikan rasa girang dan malunya karena hendak bertemu dengan Lin Lin!

“Akan tetapi jangan terlalu lama,” katanya. “Aku tidak tanggung jawab kalau adikku marah-marah!”

Cin Hai mendelikkan mata dan melompat cepat ke arah puncak bukit itu hingga membuat kepala kampung merasa heran dan kagum sekali! Kwee An sambil tersenyum-senyum melanjutkan perjalanan menuju ke rumah dengan hati berdebar.

Kebetulan sekali, ketika mereka tiba di dekat rumah, Kwee An melihat seorang gadis sedang menyirami kembang mawar hutan yang indah dan sedang mekar dengan segarnya. Gadis ini cantik jelita dan mengenakan pakaian titik-titik hijau dengan leher berwarna merah. Rambutnya yang hitam panjang itu disanggul ke belakang dan agak kusut karena tertiup angin gunung, akan tetapi kekusutan rambutnya ini bahkan menambah kemanisannya. Kwee An tiba-tiba berhenti dan memberi isyarat kepada kepala kampung itu agar tak mengeluarkan suara. Kemudian ia menghampiri gadis itu dengan meringankan tindakan kakinya dari belakang. Setelah berada dekat di belakang gadis itu, ia telah tak dapat menahan lagi perasaan girang dan debaran jantungnya yang mengeras, lalu mengeluarkan panggilan yang diucapkan dengan bibir gemetar,

“Hoa-moi…”

Ma Hoa cepat menengok sambil berdiri. Matanya yang indah dan lebar terbelalak dan wajahnya tiba-tiba menjadi merah. Tak terasa lagi tempat air yang tadi dipegangnya terjatuh ke atas tanah dan hanya dapat berkata,

“Kau… kau… An-ko…” Kemudian, setelah dua pasang mata itu saling bertemu dan saling pandang dalam seribu satu bahasa dan sinar mata itu mewakili hati masing-masing dan melepas kerinduan dengan pandangan mesra, Ma Hoa menundukkan kepalanya, lalu berkata perlahan,

“Koko, mengapa baru sekarang kau datang?” Ucapan ini biarpun terdengar seakan-akan gadis itu menegur, akan tetapi bagi telinga Kwee An merupakan sebuah pengakuan bahwa gadis itu telah lama merindukannya!

“Moi-moi, maafkanlah bahwa baru sekarang aku dapat menemukan tempat ini. Kau makin cantik dan manis, hingga bunga ini nampak buruk berada di dekatmu!” Ma Hoa mengerling dengan tajam dan bibirnya tersenyum senang, karena wanita manakah yang takkan merasa bahagia dan bangga apabila mendapat pujian dari kekasihnya?

Dalam kebahagiaan pertemuan ini, Kwee An sama sekali lupa bahwa ia datang dengan kepala kampung yang kini berdiri menjauhinya dan duduk di atas sebuah batu karena merasa jengah dan malu kalau harus mendekati mereka. Juga Kwee An lupa untuk bertanya tentang Lin Lin atau Yousuf. Sebaliknya Ma Hoa juga sama sekali tidak ingat untuk bertanya tentang Cin Hai atau orang-orang lain. Pendek kata, pada saat itu, mereka merasai bahwa di atas dunia ini hanya ada mereka berdua saja.

Tiba-tiba, ketika kedua teruna remaja ini sedang bercakap-cakap dengan suara bisikan mesra, terdengar bentakan keras dari dalam rumah kecil itu.

“Ada tamu datang! Silakan kau minum air teh, anak muda!” Dan, berbareng dengan bentakan ini tubuh Yousuf muncul dari pintu dan orang Turki yang berilmu tinggi ini lalu melempar sebuah poci yang tadi dipegangnya ke arah Kwee An! Kepala kampung yang tadi duduk, melihat hal ini lalu bangkit berdiri dan memandang dengan hati kuatir. Ia tahu akan keanehan sikap orang Turki ini, dan pernah ia mendengar tentang lemparan poci teh dan mengerti pula akan maksudnya oleh karena dulu pernah ada beberapa orang pemuda kampung yang tertarik oleh kecantikan kedua orang gadis itu dan datang pula ke situ. Akan tetapi, mereka ini pun mendapat sambutan lemparan poci teh yang membuat mereka lari tunggang langgang, oleh karena mereka tak sanggup menerima poci yang menyambar mereka bagaikan seekor burung yang dapat beterbangan dan bergerak-gerak!

Ternyata bahwa Yousuf menggunakan poci teh itu untuk mencoba pemuda yang berani mendekati Ma Hoa atau Lin Lin dan lemparan poci ini adalah semacam kepandaian sihir yang digerakkan oleh tenaga khikang.

Melihat menyambarnya poci teh ke arah kepalanya, Kwee An terkejut sekali karena ia telah merasa datangnya serangan angin sambaran benda itu.

Namun Kwee An tidak saja telah memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, bahkan kini setelah lama melakukan perjalanan dengan Cin Hai, ia mendapat petunjuk-petunjuk berharga dari pemuda itu dan kepandaiannya telah mengalami banyak kemajuan. Selain itu, Cin Hai juga memberi petunjuk tentang penyempurnaan latihan lweekangnya hingga dalam hal tenaga lweekang dan khikang, Kwee An juga mendapat kemajuan pesat.

Melihat datangnya poci teh yang menyambar, Kwee An lalu mengulur tangan kanannya dan ia makin terkejut ketika merasa betapa poci itu terdorong oleh tenaga yang kuat sekali. Akan tetapi ia dapat mengerahkan lweekangnya dan menerima poci teh dengan baik, bahkan air teh yang di dalam poci sama sekali tidak tumpah keluar!

“Bagus, bagus! Ma Hoa, siapakah pemuda gagah ini?” tanya Yousuf yang segera melangkah menghampiri.

“Lekas kauminum air teh dari poci. Ini adalah Yo-peh-peh,” bisik Ma Hoa. Kwee An tanpa ragu-ragu melakukan apa yang dikatakan oleh kekasihnya itu dan ia minum air teh dari mulut poci begitu saja tanpa cawan. Yousuf makin girang dan tertawa bergelak-gelak.

“Yo-peh-peh, ini adalah An-koko yang seringkali kau dengar namanya itu.”

Yousuf terkejut dan tahu bahwa ia tadi telah salah sangka. Maka cepat ia menghampiri dan membungkuk. “Maaf, Kwee-taihiap, aku tua bangka sembrono telah berlaku kurang ajar.”

Akan tetapi, Kwee An dengan hormat sekali menjura setelah memberikan poci teh kepada kekasihnya dan berkata, “Yo-peh-peh, setelah Hoa-moi menyebut kau Peh-peh, maka kau bukanlah orang lain dan perkenankanlah aku menyebut Peh-peh pula kepadamu yang baik hati dan berkepandaian tinggi!”

Yousuf makin girang melihat sikap yang sopan santun dari pemuda ini, maka ia segera maju memeluknya. “Bagus, Ma-Hoa tidak keliru memilih. Memang Nelayan Cengeng itu pandai memilih jodoh muridnya!” Ia lalu melihat kepala kampung itu dan segera memanggilnya, dan beramai-ramai mereka lalu masuk ke dalam rumah.

“Di mana Lin Lin?” tanya Kwee An dan baru sekarang ia teringat kepada adiknya. Ma Hoa memandangnya dengan mata berseri lalu menjawab,

“Entahlah, dia semenjak tadi keluar dengan Sin-kong-ciak. Sebentar lagi tentu datang. Dan di manakah adanya Si-taihiap? Mengapa ia tidak datang bersamamu?”

“Kebetulan sekali! Dia tadi mendengar suara kong-ciak dan pergi mencarinya, tentu ia telah bertemu dengan Lin Lin!”

Ketika Cin Hai lari cepat ke arah puncak di mana ia mendengar burung merak memekik nyaring, ia mendengar lagi pekik burung merak itu yang agaknya sedang marah. Cin Hai mempercepat larinya dan ketika ia tiba di puncak, ia melihat pertempuran yang hebat antara seekor burung merak yang indah bulunya dan besar sekali melawan seorang hwesio tinggi besar. Alangkah kaget dan girangnya ketika melihat bahwa hwesio itu bukan lain Hai Kong Hosiang!

Ternyata bahwa hwesio jahat ini dapat mengetahui tempat tinggal Yousuf, Lin Lin dan Ma Hoa. Maka timbullah niatnya hendak mengganggu gadis itu, terutama Lin Lin oleh karena ia tahu bahwa gadis ini adalah puteri Kwee-ciangkun yang menjadi musuh besarnya! Demikianlah, ketika ia mengintai ke bukit itu, kebetulan sekali ia melihat Lin Lin dan burung merak maka segera ia muncul untuk menangkap Lin Lin. Tidak dinyana, burung merak itu dengan ganas sekali telah menyerangnya dan sebentar saja manusia dan burung ini bertempur sengit.

Ketika Cin Hai tiba di situ, burung merak sedang menyambar-nyambar dari atas dan Hai Kong Hosiang melawan dari bawah. Pertempuran berjalan ramai sekali, akan tetapi ketika Cin Hai memperhatikan, ia menjadi terkejut oleh karena melibat betapa gerakan burung itu kaku sekali, seakan-akan telah mendapat luka berat! Memang benar, sebelum Cin Hai datang, Hai Kong Hosiang yang kosen itu telah berhasil melukai Sin-kong-ciak dengan sebuah pukulan tangannya. Pukulan ini tepat mengenai dada kanan Merak Sakti itu dan kalau saja Merak Sakti tidak memiliki kekebalan dan tenaga luar biasa, pasti ia telah tewas dan dadanya hancur pada saat itu juga! Namun, Merak Sakti telah mendapat gemblengan luar biasa dari Bu Pun Su dan sutenya yang sakti dan telah menjadi seekor binatang sakti yang memiliki kekuatan luar biasa maka pukulan ini biarpun telah melukainya, namun tidak membunuhnya.

Betapapun juga, kepandaian Hai Kong Hosiang terlampau tinggi baginya dan kini biarpun ia menyambar-nyambar namun ia tidak berdaya menyerang Hai Kong Hosiang dan bahkan tiap kali mereka bergerak hampir saja Merak Sakti itu terkena serangan dahsyat dari Hai Kong Hosiang!

Melihat ini Cin Hai menjadi marah dan sekali loncat saja ia telah berada di dekat tempat pertempuran. Alangkah herannya ketika melihat seekor kuda yang dikenalnya baik-baik berada pula di situ, makan rumput hijau tanpa mempedulikan. Kuda itu adalah kuda Pek-gin-ma atau Kuda Perak Putih kepunyaan Pangeran Vayami yang dulu dibawa oleh Bu Pun Su untuk dikembalikan kepada yang punya. Ia dapat menduga bahwa kuda ini terjatuh dalam tangan Hai Kong Hosiang dan dugaannya memang betul. Hai Kong Hosiang datang ke bukit itu sambil menunggang Pek-gin-ma yang semenjak ia pergi dengan Pangeran Vayami ke Pulau Kim-san-to, memang telah berada di tangannya dan dipelihara baik-baik di kota raja.

“Hai Kong Hosiang, mari kita menentukan perhitungan terakhir hari ini!” kata Cin Hai yang menyambung ucapannya itu dengan suara halus ke arah Merak Sakti.

“Sin-kong-ciak-ko, biarlah siauwte menghadapi hwesio gundul kurang ajar ini dan kau beristirahatiah dulu!”

Merak Sakti ini agaknya maklum bahwa pemuda yang datang adalah seorang yang boleh dipercaya, maka ia lalu terbang ke atas dahan pohon di dekat situ dan setelah hinggap di situ ia lalu menggunakan paruh dan kepalanya untuk mengusap-usap dada kanannya yang terluka dan terasa sakit.

Ketika Hai Kong Hosiang melihat siapa yang datang, bukan kepalang marahnya.

“Bangsat besar, akhirnya aku dapat juga bertemu dengan engkau!” katanya dan sedikit pun ia tidak merasa jerih.

Memang ia tahu bahwa kepandaian pemuda ini tinggi sekali sebagaimana telah ia rasakan ketika mereka bertempur di atas perahu Pangeran Vayami, akan tetapi kini ia telah memiliki ilmu kepandaian tinggi supeknya.

Setelah mengeluarkan makian marah, Hai Kong Hosiang lalu maju dengan tongkat ularnya. Cin Hai mencabut pedangnya Liong-coan-kiam dan menangkis dan sebentar saja kedua orang musuh besar ini telah bertempur mati-matian di atas bukit itu, disaksikan oleh Sin-kong-ciak yang bertengger di atas dahan pohon.

Setelah bertempur beberapa puluh jurus, keduanya tercengang dan kaget melihat kemajuan ilmu silat lawan. Akan tetapi kekagetan Hai Kong Hosiang lebih besar lagi oleh karena tenaga lweekangnya yang telah dilatih sempurna itu tidak berdaya menghadapi Cin Hai! Ia merasa betapa pemuda ini sekarang memiliki tenaga lweekang yang berlipat ganda hebatnya daripada dulu. Dan ketika Cin Hai membuka serangan dengan ilmu pedangnya yang baru diciptakannya sendiri itu, maklumlah Hai Kong Hosiang bahwa pemuda ini kini telah memiliki ilmu kepandaian hampir menyamai tingkat Bu Pun Su sendiri! Diam-diam ia menjadi bingung dan jerih terutama sekali ketika Cin Hai dengan senyum sindir berkata “Hai Kong, sekarang kau harus menghadap Supekmu!”

Hai Kong Hosiang maklum bahwa supeknya telah meninggal dunia dan hal ini membuat ia makin jerih lagi. Ia tak perlu bertanya bagaimana supeknya meninggal namun dapat menduga bahwa tentulah pemuda ini yang merobohkannya, kalau tidak, tidak nanti Cin Hai mengeluarkan kata-kata yang bermaksud melemahkan pertahanannya dan mengacaukan pikirannya itu.

Kemudian dengan nekad Hai Kong Hosiang menyerang lagi dengan Ilmu Silat Tongkat Jian-coa-tung-hwat atau Ilmu Tongkat Seribu Ular yang menjadi kebanggaannya. Akan tetapi, serangan dengan ilmu tongkat ini yang telah dikenal baik oleh Cin Hai, hanya memperlebar senyum di mulut pemuda itu saja. Ketika Cin Hai mengeluarkan seruan keras dan menggerakkan jurus ke dua puluh satu dari ilmu pedangnya, tiba-tiba tongkat di tangan Hai Kong Hosiang terlempar ke udara dan terdengar sayap mengibas karena ketika melihat tongkat hwesio itu melayang ke atas, Merak Sakti cepat menyambarnya dan membawa terbang tongkat itu untuk dilempar jauh ke dalam sebuah jurang yang curam sekali!

Hai Kong Hosiang menjadi marah sekali dan tiba-tiba ia berjungkir balik dengan kepala di atas tanah dan kedua kaki bergerak-gerak di atas! Gerakannya cepat dan hebat, dan kedua kakinya mengeluarkan tenaga luar biasa karena anginnya saja menyambar-nyambar membuat daun-daun pohon yang bergantungan di situ bergoyang-goyang seperti tertiup angin keras!

Namun Hai Kong Hosiang tak dapat menakut-nakuti Cin Hai dengan ilmunya ini, bahkan pemuda ini lalu dengan tenangnya menyimpan kembali pedangnya, oleh karena ia tidak mau disebut licin untuk melawan seorang yang bertangan kosong dengan senjata di tangan! Ia maju menghadapi Hai Kong Hosiang yang telah berdiri dengan terbalik itu. Hai Kong Hosiang mengeluarkan seruan keras dan mengerikan lalu kedua kakinya menyambar dalam serangan-serangan kilat dan maut! Cin Hai lalu menyambutnya dengan Ilmu Silat Pek-in-hoat-sut yang ajaib, dan benar saja. Ilmu silat yang dilakukan dengan tubuh terbalik ini tidak berdaya menghadapi Pek-in-hoat-sut dan setiap kali hawa pukulan kaki itu menyambar dan terpukul kembali oleh uap putih yang keluar dari sepasang lengan Cin Hai, maka kaki Hai Kong terpental kembali yang membuat tubuhnya bergoyang-goyang. Cin Hai maklum bahwa dalam keadaan terbalik itu, agak sukar baginya untuk mencari jalan darah lawan dalam keadaan jungkir balik itu. Kalau saja Hai Kong Hosiang bertempur sambil berdiri di atas kedua kakinya, takkan sukar agaknya bagi dia untuk merobohkan hwesio itu.

Tiba-tiba Cin Hai yang semenjak tadi memperhatikan gerakan Hai Kong Hosiang, mengambil keputusan untuk meniru gerakan lawannya ini. Segera ia berseru keras dan berjungkir balik, kepala di atas tanah dan kedua kaki di atas. Dan bertempurlah mereka dalam keadaan aneh itu dengan hebatnya.

Kembali Hai Kong Hosiang menjadi terkejut sekali. Bagaimana pemuda ini dapat melakukan ilmu silat ini dengan sama baiknya?

“Siluman!” bentaknya dengan hati ngeri dan menyerang kembali dengan nekad. Tubuhnya berputar-putar di atas kepala dan kedua kakinya menyambar-nyambar, akan tetapi oleh karena kini Cin Hai juga berdiri di atas kepalanya seperti dia, sedangkan ilmu silatnya ini khusus diadakan untuk menghadapi seorang yang berkelahi dengan normal, maka semua pukulan kakinya ini menjadi ngawur saja. Kaki yang tadinya harus menyerang pundak lawan yang berdiri biasa, kini menyerang tumit kaki Cin Hai. Hai Kong Hosiang benar-benar bingung hingga kepalanya menjadi pening. Ia lalu berseru keras dan berdiri lagi di atas kedua kakinya, akan tetapi Cin Hai juga telah berdiri dan menyerangnya dengan hebat.

Menghadapi Pek-in-hoat-sut dengan berdiri di atas kedua kakinya, Hai Kong Hosiang tidak kuat menahan lagi dan dengan telak jari tangan Cin Hai berhasil menotok pundaknya dan tangan kiri anak muda itu menepuk pinggangnya. Hai Kong Hosiang tanpa mengeluarkan suara lalu roboh terbanting dalam keadaan lumpuh kaki tangannya.

Sebelum Cin Hai dapat mengeluarkan kata-kata atau menurunkan tangan keras untuk menghabisi jiwa hwesio itu, tiba-tiba Merak Sakti turun menyambar. Agaknya Merak Sakti ini hendak membalas dendamnya oleh karena dadanya dilukai oleh Hai Kong Hosiang, dan kini sambil memekik-mekik marah ia menyambar dan mematuk ke arah kedua mata Hai Kong Hosiang. Hwesio ini biarpun sudah lumpuh kedua kaki tangannya, namun masih mempunyai tenaga untuk mengguling-gulingkan tubuhnya hingga ia dapat berhasil mengelak paruh merak yang hendak mematuk matanya.

Cin Hai melangkah mundur dan berdiri di dekat Pek-gin-ma yang masih enak-enak makan rumput. Sambil bertolak pinggang Cin Hai melihat pergulatan ini dan berkata, “Kong-ciak-ko, jangan kau habisi jiwanya. Itu bukan tugasmu.”

Setelah beberapa kali mengguling-gulingkan tubuhnya untuk menghindarkan kedua matanya dari serangan Merak Sakti, akhirnya Hai Kong Hosiang terpaksa menyerah. Sambil mengeluarkan jeritan ngeri, Hai Kong Hosiang masih berusaha mengelak, akan tetapi terlambat. Patuk yang merah dan kecil runcing dari Merak Sakti itu telah bergerak dua kali dan kedua mata Hai Kong Hosiang menjadi buta!

Pada saat itu terdengar seruan girang,

“Hai-ko!”

Cin Hai cepat berpaling dan melihat bahwa yang berseru, itu bukan lain adalah Lin Lin! Gadis ini ternyata tadi telah terjun ke dalam sebuah jurang dan bersembunyi ketika diserang hebat oleh Hai Kong Hosiang! Lin Lin maklum bahwa ia bukan lawan hwesio ini, maka ia berusaha melarikan diri dan memanggil Ma Hoa dan Yousuf untuk membantunya, akan tetapi ia kehabisan jalan dan akhirnya jalan satu-satunya ialah terjun ke dalam jurang itu! Untung baginya bahwa jurang itu dangkal dan pada saat itu, Sin-kong-ciak telah datang membelanya.

“Lin Lin…!” Cin Hai berseru girang sekali dan mereka lalu saling berpegang tangan dengan hati penuh kebahagiaan. “Lihat, Hai Kong yang jahat pun harus makan buah yang ditanamnya sendiri!” Mereka sambil berpegang tangan menonton betapa Merak Sakti menyerang Hai Kong Hosiang.

Setelah berhasil membalas sakit hatinya Merak Sakti terbang melayang ke atas dan memekik-mekik girang. Dan pada saat itu, dari lereng bukit berlari-lari Kwee An, Ma Hoa, dan Yousuf menuju ke tempat itu. Mereka juga mendengar pekik Merak Sakti dan merasa kuatir, maka ketiga orang ini lalu berlari cepat menyusul Cin Hai.

Melihat Hai Kong Hosiang telah rebah di tanah dengan mata buta dan tak berdaya lagi Kwee An lalu mencabut pedangnya dan hendak menusuk tubuh musuh besarnya itu, akan tetapi tiba-tiba Ma Hoa menjerit, “Koko, jangan!”

Kalau orang lain yang mencegah, mungkin takkan dihiraukan olah Kwee An yang merasa marah sekaii, akan tetapi suara Ma Hoa ini mempunyai pengaruh yang melemaskan tubuhnya dan memadamkan api kemarahannya.

“Jangan, An-ko, biarlah kita ampuni jiwa anjing ini agar jangan menodai kegembiraan pertemuan kita!”

Kwee An memandang kepada kekasihnya lama sekali, kemudian ia menghela napas dan berpaling kepada Lin Lin. Ia melihat betapa adik perempuannya yang masih saling berpegang tangan dengan Cin Hai juga tidak berniat menurunkan tangan membunuh Hai Kong Hosiang, maka mereka lalu hanya saling pandang dengan bingung.

Yousuf tertawa. “‘Anak-anak! Demikianlah seharusnya orang yang mempunyai pribadi tinggi. Jangan terlampau mengandalkan kekuatan dan kepandaian untuk secara mudah mengambil nyawa orang lain, betapa besar pun dosanya terhadap kita! Ada kekuasaan terbesar di dunia ini yang akan mengadili segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dan biarlah Dia mengatur sendiri hukuman yang akan ditimpakan kepadanya!”

Cin Hai merasa kagum sekali mendengar ucapan ini, dan Lin Lin lalu memimpin tangan kekasihnya mendekati Yousuf. “Ayah, inilah calon mantumu dan Hai-ko, ketahuilah bahwa orang tua ini adalah ayah angkatku!”

Cin Hai memberi hormat dan dibalas dengan selayaknya oleh Yousuf. Tiba-tiba tubuh Hai Kong Hosiang bergerak dan bergulingan sambil mulutnya berteriak, “Bangsat-bangsat rendah, kaukira aku takkan dapat membalas dendam? Tunggulah pembalasanku!” Sambil memaki-maki dan berteriak-teriak, Hai Kong Hosiang lalu menggulingkan dirinya cepat sekali dan tahu-tahu tubuhnya terguling masuk ke dalam sebuah jurang yang dalam!

“Nah, begitulah hukuman seorang jahat!” kata lagi Yousuf dan ia lalu mengajak mereka semua kembali ke rumahnya. Cin Hai tak lupa membawa Pek-gin-ma bersama mereka.

Malam yang indah. Bulan bersinar gemilang dan penuh hingga keadaan malam itu sama dengan siang, akan tetapi lebih indah. Daun-daun pohon menghitam dan mendatangkan pemandangan yang menarik sekali.

Di bawah pohon nampak dua orang muda berdiri dan bercakap-cakap dengan asyik dan mesra. Mereka ini adalah Lin Lin dan Cin Hai. Dengan suara penuh cinta kasih, kedua orang ini saling menuturkan pengalaman masing-masing diselingi pandang yang menyatakan betapa besarnya cinta kasih mereka. Ketika Lin Lin mendengar tentang nasib Ang I Niocu, gadis ini menangis karena terharu dan kasihan, hingga Cin Hai lalu mengelus dan membelai rambutnya sambil berkata,

“Lin Lin kita tak boleh melupakan Ang I Niocu yang telah mengorbankan jiwa dalam usahanya mempertemukan kita. Akan tetapi, kita pun tak boleh terlalu bersedih. Biarpun ia telah pergi ke alam akhir, akan tetapi dia meninggalkan sesuatu untuk kita buat kenangan.”

Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu mengeluarkan potongan kain merah dari pakaian Ang I Niocu yang ditemukan di permukaan air laut itu. Lin Lin menahan sedu sedannya dan mendekap kain itu ke dadanya. “Enci Im Giok….” bisiknya, “kau… kau di manakah?” Kemudian, matanya terbelalak memandang kepada Cin Hai sambil berkata, “Engko Hai, aku tidak percaya bahwa Enci Im Giok telah meninggal dunia! Kalau aku tidak melihat jenazahnya dengan mata kepala sendiri aku tidak percaya seorang seperti dia dapat meninggal dunia!”

Cin Hai menghela napas dan menjawab, mudah-mudahan saja betul dugaanmu itu. Akan tetapi, menghadapi ledakan dan kebakaran hebat itu, manusia manakah yang sanggup menyelamatkan dirinya?”

Untuk beberapa lama mereka berdiam diri, seakan-akan berdoa kepada Thian Yang Maha Kuasa untuk keselamatan Ang I Niocu yang mereka sayang. Kemudian, setelah keharuan hati agak mereda, Lin Lin lalu menceritakan kepada kekasihnya tentang pertemuannya dengan Bu Pun Su dan tentang pedang pendek Han-le-kiam yang dibuat oleh kakek sakti dan diberikan kepadanya. Kemudian ia berkata,

“Hai-ko, Suhumu berpesan agar supaya engkau memberi pelajaran ilmu pedang kepadaku, karena setelah aku memiliki pedang ini aku berhak mempelajari ilmu pedangnya.”

Cin Hai menghela napas dan berkata, “Lin-moi, ketahuilah. Dulu ketika aku mempelajari ilmu silat dari Suhu, aku diharuskan bersumpah.”

“Aku pun bersedia bersumpah!” memotong Lin Lin sambil cemberut.

Cin Hai tersenyum. “Bukan begitu maksudku Lin-moi. Aku dulu harus bersumpah bahwa selain harus mempergunakan ilmu kepandaian itu untuk kebenaran dan keadilan juga aku tidak boleh mengajarkan kepada orang lain, siapapun juga orang itu.”

“Apa kau tidak percaya kepadaku?” Lin Lin memotongnya lagi.

Cin Hai memegang lengan kekasihnya. “Kau harus belajar bersabar, Lin-moi. Aku hanya hendak menyatakan kepadamu bahwa apabila bukan atas kehendak Suhu sendiri, biarpun di dalam hati aku ingin sekali memberi pelajaran kepadamu, namun aku takkan berani. Sekarang Suhu bahkan menyuruh aku memimpinmu, tentu saja aku merasa girang dan berbahagia! Akan tetapi, oleh karena sudah menjadi keharusan, kau pun harus mengucapkan sumpah, Lin-moi. Dengan demikian, biarpun Suhu tidak menyaksikan sendiri akan tetapi kita tidak melakukan pelanggaran, oleh karena syarat terutama bagi seorang murid kepada gurunya yang terpenting ialah ketaatan dan kesetiaan!”

Lin Lin mengangguk girang. Kemudian ia lalu memegang pedang pendek Han-le-kiam itu dengan kedua tangannya, diangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala sambil berlutut. Dengan suaranya yang nyaring dan merdu, dara jelita itu bersumpah,

“Teecu Kwee Lin, dengan disaksikan oleh Pedang Han-le-kiam pemberian Suhu Bu Pun Su, disaksikan pula oleh Hai-ko, dan oleh bulan purnama, oleh langit dan bumi, teecu bersumpah bahwa apabila teecu telah mempelajari ilmu silat dan ilmu pedang dari Hai-ko sebagai wakil Suhu Bu Pun Su, kepandaian itu akan teecu pergunakan semata-mata untuk menjaga diri dari serangan orang jahat, untuk menolong sesama hidup yang menderita, untuk membasmi penjahat-penjahat dan penindas rakyat.”

Cin Hai menyaksikan sumpah ini sambil berdiri di bawah pohon dan memandang dengan wajah sungguh-sungguh.

Kemudian mereka lalu kembali ke pondok kecil di lereng bukit itu.

Keadaan di bukit itu demikian indahnya hingga Cin Hai dan Kwee An merasa kerasan sekali. Mereka mengambil keputusan untuk berdiam di tempat indah itu beberapa bulan sebelum mengajak dua orang gadis kekasih mereka kembali ke pedalaman.

Dan mulai keesokan harinya Cin Hai mengajarkan ilmu-ilmu silatnya yang ia dapat dari Bu Pun Su. Akan tetapi, untuk dapat memiliki kepandaian mengenai dasar ilmu silat sebagaimana yang telah ia miliki, bukanlah pelajaran yang dapat difahamkan dalam beberapa bulan saja, maka Cin Hai lalu menurunkan Ilmu Pukulan Pek-in-hoat-sut dan Kong-ciak-sin-na kepada Lin Lin. Juga memberi pelajaran ilmu pedang yang telah diciptakannya sendiri itu.

“Apakah namanya kiam-hoat (ilmu pedang) ini?” tanya Lin Lin.

Cin Hai memandang dengan sinar mata bodoh, oleh karena sesungguhnya ia sendiri juga tidak tahu. Ia telah ciptakan ilmu pedangnya dan bahkan ilmu pedangnya yang luar biasa itu telah berjasa ketika digunakan dalam pertempuran hebat menghadapi Kiam Ki Sianjin yang tangguh akan tetapi sampai sekarang, ia sendiri masih belum tahu apa nama ilmu pedang ini.

“Eh, kenapa kau bengong saja?” Lin Lin bertanya. “Kau bilang bahwa kau sendiri pencipta ilmu pedang ini, masa tidak tahu namanya?”

“Lin-moi, bayi yang baru terlahir tidak membawa nama pula.”

Lin Lin tertawa geli. “Jadi kauanggap ilmu pedangmu seperti bayi? Kalau begitu kau terlambat memberi nama kepada bayimu! Jangan-jangan ia sudah jenggotan masih belum mempunyai nama!”

Cin Hai tertawa juga mendengar kelakar ini, kemudian ia lalu berkata dengan sungguh-sungguh,

“Lin-moi ilmu pedang ini kuciptakan atas anjuran dan desakan Ang I Niocu, kalau tidak dia yang mendesak dan memberi saran, mungkin sampai sekarang atau selamanya aku takkan bisa menciptakan kiam-hoat sendiri. Pada waktu aku menciptakan kiam-hoat ini, selain Ang I Niocu yang memberi petunjuk-petunjuk, juga aku mendapat bantuan yang amat berharga dari daun-daun bambu.”

Lin Lin merasa heran sekali mendengar ini, hingga Cin Hai harus menceritakan bagaimana ia mencipta ilmu pedangnya itu, dan betapa Ang I Niocu telah memberi petunjuk-petunjuk pula tentang gaya gerakan untuk memperindah kiam-hoatnya.

“Aku telah mempelajari Tari Bidadari dari Ang I Niocu dan karenanya, selain suka akan seni suara, aku pun suka seni tari. Menurut pikiranku, ilmu silat tiada jauh bedanya dengan seni tari, atau boleh kusebut saja bahwa ilmu silat adalah seni tari yang tidak saja mempunyai gerakan indah dan manis dipandang, akan tetapi juga memerlukan bakat dan darah seni untuk dapat melakukannya dengan sempurna. Bedanya antara keduanya itu, yaitu antara tarian biasa dan ilmu silat adalah bahwa tarian hanya membayangkan keindahan, sebaliknya ilmu silat khusus mengatur gerakan kaki tangan yang keseluruhannya ditujukan untuk menjadi gerakan yang cepat dalam menyerang dan menangkis atau mengelak.”

“Eh, eh, Hai-ko, biarpun uraianmu itu amat menarik, akan tetapi telah melantur jauh daripada inti percakapan kita semula,” kata Lin Lin menggoda sambil tersenyum karena melihat betapa pandangan mata pemuda itu telah melayang jauh seperti orang melamun. “Kalau kau bercakap seperti ini, kau seperti seorang kakek-kakek saja.” Cin Hai bagaikan terbetot kembali dari alam renungan dan ikut tersenyum pula. “O ya, kita sedang mempercakapkan soal nama ilmu pedang kita. Hm, apakah gerangan nama yang terbaik? Akan tetapi, apa pula artinya memberi nama yang indah?” ia mencela sendiri.

Tak tertahan pula geli hati Lin Lin hingga ia tertawa. “Bagaimana sih kau ini? Berbantah-bantah seorang diri, seakan-akan dalam dirimu terdapat dua orang yang sedang bertengkar!”

“Biarlah kuberi nama Ilmu Pedang Daun Bambu saja!”

Sepasang mata Lin Lin yang indah itu bersinar gembira. “Alangkah lucu dan anehnya nama itu. Ilmu Pedang Daun Bambu! Aneh seperti… penciptanya!”

Cin Hai memandang dengan mata terbelalak. “Apa? Apakah dalam pandanganmu aku ini orang aneh?”

“Memang, aneh sekali! Karena di seluruh dunia ini tak mungkin aku bertemu dengan seorang pemuda seperti engkau. Kau berbeda dengan orang-orang lain, bukankah itu aneh namanya?”

“Kalau begitu sama saja dengan kau. Aku pun belum pernah dan rasanya takkan pernah bertemu dengan gadis seperti engkau, semanis kau, secantik kau, dan se… nakal engkau!”

Lin Lin mengulurkan tangan dan jari-jari yang halus itu mencubit lengan Cin Hai yang tertawa dengan hati beruntung.

“Sudahlah, Moi-moi, kalau kita bersendau-gurau saja, sampai kapan kau akan depat menghafal pelajaran Kim-hoatmu?”

“Tapi aku tidak suka nama kiam-hoat itu. Ilmu Pedang Daun Bambu, sungguh lucu! Kalau aku bertanding dengan seorang lawan mempergunakan ilmu pedang ini, kemudian lawan itu kalah hingga aku menjadi bangga, tetapi apabila lawan yang kalah itu bertanyakan nama ilmu pedangku bukankah kebanggaanku akan musnah dan terganti rasa malu kalau aku menyebutkan bahwa ilmu pedang yang hebat itu, yang telah mengalahkannya, namanya tak kurang tak lebih hanya Ilmu Pedang Daun Bambu saja? Murah sekali!”

“Apa yang murah?”

“Daun bambu itu!”

Cih Hai hanya tertawa. “Kalau begitu, biarlah ilmu pedangku ini dirubah sedikit dan disesuaikan dengan gerakan-gerakanmu serta dengan pedangmu yang pendek ini. Kemudian, setelah kau dan aku menciptakan ilmu pedang baru berdasarkan Ilmu Pedang Daun Bambu, kau lalu memberi nama sendiri. Bagaimana?”

Bersinar-sinar mata Lin Lin mendengar ini. “Bagus! Hai-ko! Bagus, aku sudah dapat nama itu!”

Cin Hai terheran. “Sudah ada namanya? Ini lebih aneh lagi! Bayinya belum terlahir sudah diberi nama! Apakah namanya?”

“Namanya Han-le Kiam-sut, sesuai dengan nama pedang pemberian Suhu.”

Cin Hai merasa girang karena menurut pikirannya, nama itu pun baik dan cocok sekali. Demikianlah, mulai saat itu Cin Hai mengajar ilmu pedang kepada Lin Lin, berdasarkan Ilmu Pedang Daun Bambu, akan tetapi diadakan perubahan di sana-sini untuk disesuaikan dengan pedang pendek di tangan Lin Lin. Memang gerakan-gerakan pedang pendek berbeda dengan pedang panjang, karena pedang pendek yang merupakan sebilah belati atau pisau itu harus dipergunakan lebih cepat agar jangan didahului oleh ujung senjata yang lebih panjang. Senjata yang pendek ini harus dipergunakan dalam pertempuran secara mendekat dan rapat baru dapat berhasil, dan ini pun ada kebaikannya, oleh karena dalam menghadapi seorang lawan yang bersenjata toya, lebih menguntungkan apabila menghadapinya dengan rapat hingga gerak senjata yang panjang itu menjadi kurang leluasa. Sudah tentu hal ini membutuhkan keberanian dasar dan ketenangan serta kewaspadaan, juga terutama sekali harus memiliki ginkang (ilmu meringankan badan) yang tinggi hingga gerakan bisa dilakukan dengan lincah dan cepat.

Akan tetapi, Lin Lin memang telah mempelajari dasar ilmu silat yang cukup baik dan tinggi serta ginkangnya memang sudah hebat, apa lagi kini mendapat petunjuk dan latihan lweekang dan ginkang, maka dalam beberapa hari saja ilmu kepandaiannya telah maju dengan pesatnya.

Tidak hanya Cin Hai dan Lin Lin yang hidup penuh kebahagiaan di lereng bukit yang indah itu. Kwee An dan Ma Hoa juga hidup dengan penuh kebahagiaan. Mereka berdua saling mencinta dan saling mengindahkan, saling menghormati dan seperti halnya Cin Hai dan Lin Lin, kedua teruna remaja ini pun bergaul dengan mesra akan tetapi penuh kesopanan dan jangankan dalam perbuatan, bahkan dalam pikiran pun sama sekeli tidak terdapat hal-hal yang melanggar norma kesusilaan. Hal ini membuat Yousuf merasa girang dan kagum sekali. Diam-diam orang tua ini, seperti halnya orang-orang tua lain, amat memperhatikan pergaulan anak-anak muda itu. Tadinya timbul juga perasaan curiga dan tidak senang melihat pergaulan yong bebas itu, yang tak dapat dilarangnya oleh karena memang sudah biasa bagi orang-orang gagah untuk bergaul secara bebas akan tetapi, melihat betapa keempat anak muda itu bergaul dengan penuh kesopanan, ia menjadi kagum sekali. Makin yakin dan pasti perasaan hatinya bahwa mereka itu memang cocok untuk menjadi jodoh masing-masing, sama-sama cakap, sama-sama gagah, dan sama-sama sopan pula!

Biarpun selalu memilih tempat terpisah dari Lin Lin dan Cin Hai, tiap hari Kwee An dan Ma Hoa berjalan-jalan di pegunungan yang luas itu, menikmati keindahan tamasya alam sambil membicarakan tentang ilmu silat. Tak jarang mereka berlatih bersama, saling mengisi kekurangan dan saling belajar. Pada saat itu, tingkat kepandaian Kwee An lebih tinggi setingkat dari Ma Hoa, maka ia lalu memberi pelajaran kepada kekasihnya itu.

Telah beberepa hari ini, Ma Hoa selalu melepaskan rambutnya yang hitam dan kering indah di atas pundaknya. Rambutnya yang indah melambai-lambai tertiup angin dan mengeluarkan keharuman bunga yang selalu menghias rambutnya. Hal ini terjadi semenjak malam terang bulan di waktu ia berjalan-jalan bersama Kwee An bermandikan cahaya bulan yang sejuk. Angin gunung bertiup perlahan dan tiba-tiba ikatan rambut Ma Hoa terlepas, hingga rambutnya itu terurai ke atas pundaknya. Kebetulan sekali ia berdiri menghadapi bulan hingga mukanya tertimpa cahaya sepenuhnya. Ketika ia menggunakan kedua tangannya hendak menyanggul dan mengikat rambutnya, Kwee An yang berdiri memandangnya dengan mata terbelalak segera mengangkat tangan berkata,

“Jangan… jangan sanggul rambutmu, Hoa-moi, biarkan saja…”

“‘Eh, eh, kau kenapa, An-ko?” tanya Ma Hoa dengan heran sambil melepaskan kembali rambutnya yang telah dipegangnya.

“Kau…kau nampak cantik sekali dalam keadaan seperti ini, Moi-moi. Dengan rambutmu yang halus hitam berombak-ombak di sekitar lehermu, melambai tertiup angin, seakan-akan setiap lembar rambut itu hidup dan bernyawa kau seperti seorang bidadari yang baru turun dari surga. Demi segala kecantikan dan keindahan, jangan kausanggul rambutmu, Moi-moi, biarkan saja terurai di atas kedua pundakmu!”

Sampai bertitik dua butir air mata dari mata Ma Hoa karena amat terharu dan girang mendengar pujian yang keluar dari mulut kekasihnya ini dan semenjak saat itu ia berjanji tidak akan menyanggul rambutnya lagi. Tentu saja ia tidak memberi tahu kepada orang lain tentang hal ini dan hanya mengatakan bahwa ia lebih suka mengurai rambutnya. Lin Lin dan Cin Hai, juga Yousuf, menyatakan kagumnya karena dengan mengurai rambutnya yang berombak menghitam itu sesuai sekali dengan potongan wajahnya yang membulat telur.

Pada suatu hari, ketika Kwee An dan Ma Hoa sedang berdiri sambil mengagumi pemandangan di sebuah lereng yang baru kali itu mereka datangi, menikmati pemandangan yang ditimbulkan oleh matahari yang baru saja muncul hingga indah luar biasa itu, tiba-tiba mereka melihat dua orang mendaki bukit dengan tindakan kaki cepat sekali. Keduanya merasa terkejut oleh karena kedua orang itu lari cepat sekali, tanda ginkang mereka sudah mencapai tingkat tinggi. Keduanya lalu berdiri menanti dengan hati berdebar-debar dan menduga-duga, siapa gerangan orang asing itu. Ketika mereka datang dekat Kwee An dan Ma Hoa, ternyata bahwa mereka adalah seorang hwesio gundul yang tua dan seorang laki-laki muda yang rambutnya juga panjangterurai tertiup angin. Selain berambut panjang, laki-laki itu pun berpakaian secara aneh sekali, potongan baju itu berbeda dengan pakaian bangsa Han yang biasa dipakai orang. Juga kakinya mengenakan sepatu yang panjang sampai ke atas betis. Akan tetapi gerak-gerik laki-laki ini gesit dan cepat, agaknya kepandaiannya tidak di sebelah bawah hwesio gundul itu.

Agaknya kedua pendaki bukit yang aneh itu pun telah melihat Kwee An dan Ma Hoa, karena mereka segera menujukan ke arah kedua anak muda itu. Setelah tiba di hadapan Kwee An dan Ma Hoa yang memandang heran, hwesio tua itu lalu menjura dan bertanya,

“Jiwi mohon tanya di mana rumah seorang Turki bernama Yousuf?”

Kwee An dan Ma Hoa saling pandang, sedangkan orang muda berambut panjang itu memandang Ma Hoa dengan sinar mata kagum yang tidak disembunyikan.

“Suhu ini siapakah dan apakah perlunya mencari rumah Yo-sianseng?” tanya Kwee An yang berlaku hati-hati karena menaruh curiga kepada dua orang pengunjung ini.

“Eh, siapakah nama Nona yang cantik seperti bidadari ini? Kumaksudkan rambutnya yang cantik dan indah, alangkah bagusnya,” kata pemuda berambut panjang itu dengan kagum. Suaranya juga aneh, karena terdengar seperti suara wanita halus dan merdu, akan tetapi tak dapat disangsikan lagi bahwa dia adalah seorang pria, karena selain potongan tubuhnya yang kuat dan dadanya yang bidang itu, juga jelas nampak kalamenjing di lehernya yang takkan terdapat pada leher seorang wanita.

Ma Hoa menjadi marah sekali dan memandang dengan mata bernyala. Ia hendak menegur dan mendamprat, akan tetapi Kwee An memberi isyarat agar supaya ia bersabar.

“Pinceng hendak mencari dua orang gadis yang berada dengan orang Turki itu. Kenalkah Jiwi kepada dua orang nona bernama Ma Hoa dan Lin Lin?”

Makin curiga dan terkejutlah Kwee An dan Ma Hoa mendengar pertanyaan ini.

“Akulah yang bernama Ma Hoa. Suhu mencari aku ada keperluan apakah?”

Tiba-tiba mata hwesio itu terbelalak dan ia tertawa terbahak-bahak dengan girang. “Ha, ha, ha! Dicari-cari sampai pusing tidak bertemu, tahu-tahu mencari keterangan pada orang yang dicari! Ini namanya memang harus mampus di tangan pinceng ini hari!”

Bukan main terkejutnya hati Kwee An dan Ma Hoa mendengar ini, karena sungguh tak pernah mereka sangka bahwa hwesio tua ini mencari Ma Hoa dan Lin Lin dengan maksud jahat!

Kwee An melompat maju dengan marah. “Hwesio tua? Apa maksud kata-katamu yang jahat itu? Siapakah kau dan mengapa kau datang-datang mengandung maksud yang buruk dan jahat?”

“Buka lebar-lebar mata dan telingamu! Pinceng adalah Bo Lang Hwesio dan Boan Sip adalah muridku. Muridku itu terbunuh mati oleh Ma Hoa dan Lin Lin, maka sekarang pinceng mencari dua orang pembunuh itu untuk maksud apa lagi?” Sambil berkata demikian, Bo Lang Hwesio tertawa lagi bergelak. “Dan ketahuilah bahwa anak muda kawanku ini adalah Ke Ce, pendekar gagah dari Mongolia Dalam. Dia adalah adik sepupu Pangeran Vayami dan datang hendak membalas dendam kepada Yousuf! Karena Yousuf orang Turki itulah yang telah menggagalkan usaha Pangeran Vayami dan mungkin orang Turki itu pula yang telah membunuh Pangeran Vayami!”

Bukan main marahnya Kwee An mendengar ucapan ini. “Hm, jadi kau ini guru Boan Sip yang jahat? Pantas muridnya jahat, tidak tahu, gurunya juga berpemandangan sempit dan berpikiran dangkal! Adapun pembunuh Vayami bukanlah Yo-sianseng akan tetapi Hek Pek Mo-ko dan tak perlu kau mencari kedua orang tua itu, cukup aku wakilnya!”

“Bagus!” Bo Lang Hwesio membentak marah dan ia segera melompat ke arah Ma Hoa dan mengirim serangan kilat!

“Bo Lang Suhu, jangan kaubunuh bidadari itu, tangkap hidup-hidup untukku!” teriak Ke Ce sambil menyerbu dan menyerang Kwee An.

“Ha, ha, ha, dasar kau mata keranjang!” kata Bo Lang Hwesio.

Ma Hoa terkejut melihat serangan Bo Lang Hwesio yang mencengkeram dan hendak menangkap pundaknya, karena serangan ini mendatangkan angin gerakan yang lihai. Ia maklum bahwa lweekang hwesio tua ini tinggi sekali dan merupakan lawan yang tangguh, maka ia cepat mempergunakan ginkangnya untuk melompat ke pinggir dan mengelak. Sementara itu, Kwee An dengan tenang lalu menangkis pukulan Ke Ce dan keduanya berseru heran dan kagum karena ketika kedua lengan tangan mereka beradu, keduanya terpental mundur karena hebatnya tenaga lawan. Diam-diam Kwee An terkejut karena tak disangkanya bahwa pendekar dari Mongolia Dalam ini memiliki tenaga dalam yang demikian besarnya hingga tidak kalah oleh tenaganya sendiri! Maka ia lalu membalas dengan serangan kilat dan mengerahkan kepandaiannya karena maklum bahwa kali ini lawannya bukan orang lemah.

Pada waktu Bo Lang Hwesio dan Ke Ce datang, Kwee An dan Ma Hoa sedang berdiri di dekat tebing gunung yang curam sekali hingga hutan dan pohon-pohon nampak kecil di bawah mereka maka ketika mereka berdua diserang, mereka sedang berdiri membelakangi tebing itu hingga keadaan mereka amat berbahaya. Hal ini pun diketahui oleh Bo Lang Hwesio dan Ke Ce, maka mereka mendesak dengan hebat dan tidak memberi kesempatan kepada dua orang muda itu untuk berpindah tempat. Kwee An masih dapat mempertahankan diri dari serbuan Ke Ce dengan ilmu silatnya yang tinggi, bahkan ketika ia membalas dengan serangan-serangannya, Ke Ce menjadi sibuk sekali karena harus berlaku awas untuk menghindarkan diri dari kaki dan tangan Kwee An yang mempunyai gerakan gesit dan tak terduga sama sekali itu. Akan tetapi Ma Hoa yang menghadapi Bo Lang Hwesio, menjadi terdesak hebat sekali hingga gadis ini makin mundur mendekati tebing yang curam dan berbahaya! Kwee An yang melihat hal ini, merasa kuatir sekali, maka ia segera mengirim serangan kilat dengan tipu gerakan menyerampang dengan kaki kanan dan membarengi memukul dengan tangan kanan hingga Ke Ce terpaksa harus mempergunakan gerakan Ikan Leehi Melompati Ombak. Tubuh pemuda berambut panjang itu melompat ke atas dan berjungkir balik ke belakang dan karenanya dapat menghindarkan diri dari serangan Kwee An yang berbahaya tadi.

Kesempatan ini digunakan oleh Kwee An untuk melompat ke dekat Ma Hoa sambil berseru, “Hoa-moi, hati-hati di belakangmu tebing!” Sambil berseru demikian, ia lalu menyerbu untuk menahan serangan Bo Lang Hwesio yang lihai itu. Akan tetapi, pada saat itu, Ke Ce yang sudah mengejarnya, lalu mengirim pukulan yang berupa dorongan dengan kedua telapak tangan dibarengi bentakan yang keras sekali, bagaikan seekor harimau mengaum! Kwee An merasa terkejut sekali ketika dari dorongan ini keluar tenaga dan angin yang luar biasa hingga ia terhuyung ke belakang dan pada saat itu, Bo Lang Hwesio yang tahu bahwa Kwee An memiliki ilmu kepandaian cukup lihai, lalu mengejar dan mengirim tendangan maut ke arah perut Kwee An yang sedang terhuyung ke belakang itu! Ma Hoa menjerit ngeri melihat ini karena tendangan ini benar-benar berbahaya sekali dan agaknya Kwee An tak dapat mengelak lagi. Akan tetapi, Kwee An telah memiliki ketenangan dan kepandaian yang hampir sempurna, maka ketika merasa betapa tendangan maut mengancam perutnya, ia berseru keras dan tubuhnya mumbul ke atas dengan gesit bagaikan seekor burung walet. Cara menghindarkan diri dari tendangan maut ini sama sekali tidak diduga oleh Bo Lang Hwesio sendiri hingga tak terasa lagi hwesio ini mengeluarkan seruan kagum.

Akan tetapi, selagi tubuh Kwee An masih berada di udara, tiba-tiba Ke Ce menyerang lagi dengan pukulan atau dorongan kedua telapak tangan dibarengi bentakan hebat tadi. Kembali Kwee An merasa betapa besar tenaga yang mendorongnya sedangkan pada saat itu tubuhnya masih terapung di udara. Tanpa dapat dicegah lagi ia terdorong mundur dan ketika tubuhnya melayang turun, ia telah berada di sebelah sana tebing. Ma Hoa menjerit lagi dengan lebih ngeri dan ketika tubuh dara ini berkelebat, ternyata ia telah menyusul melompat ke dalam tebing yang curam itu, menyusul tubuh Kwee An yang sudah meluncur ke bawah. Keduanya jatuh ke dalam tebing yang tak dapat diukur dalamnya.

Ketika, Kwee An melihat betapa tubuh Ma Hoa juga jatuh menyusulnya, ia segera mengulur tangannya. Ma Hoa menangkap tangan itu dan keduanya meluncur terus ke bawah sambil saling berpegangan tangan. Entah bagaimana, setelah mereka berpegang tangan, rasa takut karena terjatuh itu lenyap sama sekali. Inilah daya rasa cinta yang besar dan ia mengalahkan segala rasa takut, bahkan maut sendiri tak dapat melenyapkan perasaan sentausa dan aman yang ditimbulkan oleh rasa cinta.

About Lenghou Tiong


Leave a comment