Monthly Archives: September 2008

Raja Pedang (Jilid ke-45) Tamat

Akan tetapi tiba-tiba dari bawah berlari naik seorang anggauta tentara kerajaan. Wajahnya pucat napasnya sengal-sengal ketika dia melapor, “Lapor pada Pangeran. Ada berita bahwa kota raja sudah diduduki musuh…..” Saking marahnya Pangeran Souw Kian Bi menggerakkan pedangnya dan….. robohlah pelapor ini dengan dada tertusuk pedang. Perbuatan ini seakan-akan menjadi tanda dimulainya pertempuran. Tan Beng Kui sudah mengambil pedang dari tangan seorang pelayan, kemudian dengan gerakan luar biasa cepatnya dia menyerang Souw Kian Bi. Belasan orang pengikut pangeran itu pun bergerak, akan tetapi mereka segera disambut oleh Lee Giok, Li Cu, dan dua belas orang pelayan. Pertempuran antara Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui tidak berjalan lama. Sebentar saja pedang di tangan Beng Kui berhasil membacok leher pangeran itu yang menjerit dan roboh binasa. Pengikut-pengikutnya juga roboh seorang demi seorang. Pertempuran di bawah dan di lereng gunung makin menghebat. Semua tamu berdiri dan menjadi tegang.
Beng San semenjak tadi berdiri memandang kakaknya. Air matanya bercucuran di kedua pipinya. Tangannya yang memegang Liong-cu-kiam gemetar. Alangkah gagahnya kakak kandungnya. Alangkah hebatnya. Kiranya kakaknya yang selama ini dia anggap sebagai pengkhianat, ternyata adalah Ji-enghiong pemimpin pejuang di kota raja! Jadi Kwee Sin, Lee Giok dan lain-lain itu adalah bawahan-bawahannya! Dan kakaknya ternyata adalah murid kepala dari Raja Pedang yang memiliki kepandaian lebih lihai daripada Li Cu. Hebat! Kenyataan ini menampar hatinya. Kalau dulu dia memandang rendah kakaknya, sekarang dia merasa betapa rendah dan hina dirinya kalau dibandingkan dengan Beng Kui.

Continue reading


Raja Pedang (Jilid ke-44)

Melihat sekian banyaknya tokoh besar yang hadir, diam-diam Cia Hui Gan terkejut dan bangga. Kali ini jauh lebih banyak jago-jago datang dari empat penjuru untuk memperebutkan gelar Raja Pedang. Untuk melawan mereka mengandalkan kepandaian, dia merasa amat berat karena maklum bahwa tingkat mereka itu tidak berada di sebelah bawah tingkatnya sendiri. Akan tetapi kalau yang dimaksud ini pertandingan ilmu pedang, dia boleh merasa yakin akan menang. Ilmu-ilmu pedang di dunia persilatan telah dikenalnya semua dan kiranya tidak akan ada yang dapat menangkan ilmu pedangnya, Sian-li Kiam-sut. Hanya agak gelisah juga hatinya kalau dia teringat akan gerakan ilmu pedang yang dimainkan gadis gagu tadi.

Continue reading


Raja Pedang (Jilid ke-43)

Orang muda seperti Beng San sesungguhnya tak mudah tergelincir oleh perangkap yang dipasang iblis di mana-mana, yang membahayakan setiap langkah dalam kehidupannya. Semenjak kecil biarpun jauh orang tua, namun boleh dibilang Beng San menemukan keadaan yang amat menguntungkan batinnya. Hidup sebagai kacung di kelenteng dekat dengan orang-orang saleh yang selalu mengutamakan perbuatan baik selalu mempelajari ilmu filsafat kebatinan yang mendekatkan manusia kepada Tuhan dan mengharamkan perbuatan maksiat Godaan terbesar dan paling berbahaya bagi orang muda, yaitu goda berupa nafsu pelanggaran susila, sebetulnya tidak akan mudah menundukkannya. la sudah digembleng oleh orang-orang sakti, sudah memiliki dasar batin seorang ksatria utama, kiranya dia akan lebih suka kehilangan nyawanya daripada melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan dan perikemanusiaan.

Continue reading


Raja Pedang (Jilid ke-42)

Souw Kian Bi sudah tertawa lagi, suara ketawanya licik, lalu dia berkata, “Seorang di antara kalian berani rela berkorban? tanyanya jelas ditujukan kepada Thio Ki dan Kui Lok.”

“Aku rela berkorban nyawa untuk sumoi!” kata Thio Ki.

“Tidak, lebih baik aku saja. Aku akan mati seribu kali untuk menolong Hong-moi yang tercinta,” kata Kui Lok.

Pangeran itu tertawa lagi. “Bagus, kalian ini orang-orang muda mabuk cinta. Kalau seorang di antara kalian mati, yang lain akan bebas dan pergi bersama nona ini menjadi suaminya. Nah, sekali lagi, siapa di antara katian mau mati dan memberikan nona ini kepada yang lain?”

Wajah dua orang saudara itu seketika menjadi pucat, mulut mereka terbuka tapi tidak ada suara keluar. Sampai lama mereka diam saja dan hanya suara ketawa Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui yang terdengar. Diam-diam Beng San gemas sekali kepada dua orang muda murid Hoa-san-pai itu. Benar-benar tolol dan mau saja dijadikan bahan kelakar.

Continue reading


Raja Pedang (Jilid ke-41)

“Syukur kau dan teman-temanmu keburu datang, Tan-twako, kalau tidak…..”

Tan Hok memandang ke arah tubuh-tubuh yang malang melintang di tanah itu, menarik napas panjang.”Anjing-anjing Mongol itu benar-benar keji dan sayang sekali tidak dari dulu-dulu Hoa-san-pai ikut berjuang. Lebih sayang lagi semua ini gara-gara murid Kun-lun-pai yang roboh di bawah pengaruh kecantikan wanita…..” la menuding ke arah mayat Kwee Sin.

“Jangan kau bicara sembarangan!” Thio Bwee tiba-tiba meioncat dan memandang Tan Hok dengan marah. “Apa kaukira kau dan orang-orang Pek-lian-pai saja yang patriotik dan gagah? Paman Kwee Sin biarpun kelihatan bersalah, akan tetapi sebetulnya semua itu dia lakukan demi menjalankan tugasnya sebagai seorang pejuang. Dia adalah pe-mimpin di kota raja, terkenal dengan sebutan Si-enghiong…..”

Continue reading


Raja Pedang (Jilid ke-40)

“Bodoh! Goblok orang-orang macam kalian!” Lee Giok memaki, air matanya bercucuran. “Ahhh….. buta kalian! Dia ini, adalah Si-enghiong…..”

Tiba-tiba Pek Gan Siansu yang merasa curiga, akan semua adegan itu, bertanya.

“Siapa itu Si-enghiong (Pendekar keempat)?”

“Nona Lee….. eh, Giok-moi….. aku….?” Mendengar suara ini Lee Giok tidak pedulikan semua orang dan cepat berlutut, “kau hati-hatilah….. mereka sudah tahu….. sudah mulai curiga….. kita sudah mereka ketahui….. awas….. lekas peringatkan dia…..”

“Siapa?” Lee Giok bertanya, suaranyaa tergetar, air matanya mengucur deras.
“Ji-enghiong…,.”

Continue reading


Raja Pedang (Jilid ke-39)

Phang Khai, Phang Tui, Bouw Hin dan Lim Seng cepat mencabut senjata dan nienerjang keluar. Akan tetapi mereka disambut oleh gerakan pedang yang amat cepat, dihujani pula dengan senjata-senjata rahasia. Karena keadaan amat gelap, maka mereka repot sekali dan beberapa buah senjata rahasia telah mengenai tubuh mereka.

“Tan Ciangkun, kau sudah disini? Ha-ha-ha, ternyata kau lebih cepat daripada aku. Bunuh semua mata-mata ini! Ha-ha-ha, tikus-tikus ini belum kenal kelihaian Pangeran Souw Kian Bi!” Orang yang bicara ini mainkan pedangnya dengan hebat sekali dan empat orang pe-juang itu biarpun sudah mempertahankan diri, namun mereka tidak kuat menghadapi desakan dua pedang dan hujan senjata rahasia itu. Beberapa jurus kemudian mereka roboh, terluka parah oleh pedang dan senjata rahasia. Di dalam gelap, Phang Khai dan Phang Tui yang sudah roboh itu mendengar bisikan suara merdu dan halus, suara “nenek Liong”. Demi mendengar bisikan ini, Phang Tui berseru.

“Ayaaaaa, celaka…., bodoh benar aku …”

Phang Khai berseru pula. “Aduhhh….. kalau begitu pantas mampus!”

Continue reading


Raja Pedang (Jilid ke-38)

Kwee Sin sebelum pergi sempat berkata kepada Beng San, “Orang muda, sebetulnya aku masih penasaran. Kau ini….. murid siapakah? Dan sampai di manakah kepandaianmu…..”

Beng San buru-buru menjawab, “Ah, Kwee-enghiong jangan main-main. Mana aku memiliki kepandaian apa segala? Sudahlah, selamat jalan, Kwee-enghiong, dan kalau ada jodoh kelak kita pasti akan bertemu kembali.”

Thio Eng, hanya memandang saja ketika paman dan keponakan itu pergi, kemudian ia menoleh kepada Beng San “Tan-ko, aku sendiri heran…..”

“Hemmm, heran apa lagi? Sudah terang pemuda she Bun itu amat gagah perkasa, tampan, lagi bukan musuh besarmu dan dia….. hemmm, dia suka kepadamu, apalagi yang diherankan?”

Continue reading


Raja Pedang (Jilid ke-37)

Sambil mengeluarkan suara ketawa mengejek Kim-thonw Thian-li menggerakkan kedua tangannya dan tangan kanannya sudah memegang sebuah golok tipis kecil yang amat indah bentuk dan gagangnya, sedangkan tangan kirinya sudah meloloskan sehelai saputangan merah yang panjang. Phang Khai maklum bahwa menghadapi wanita ketua Ngo-lian-pai ini tak perlu dia berlaku sungkan lagi maka sekali dia menggereng, dia telah melakukan penyerangan dengan pedang di tangan. Melihat sinar pedang yang menyambarnya dari tiga jurusan, diam-diam Kim-thouw Thian-li kaget juga dan maklum bahwa ilmu pedang lawannya ini sama sekali tak boleh dipandang ringan. Cepat dia menangkis dengan goloknya

“Traaanggg…..!” Phang Khai melompat mundur selangkah sedangkan Kim-thouw Thian-li merasa tangannya tergetar. Bukan main herannya Phang Khai. Seorang wanita yang bertubuh lemah gemulai dan halus itu kenapa bisa memiliki tenaga Yang-kang demikian besarnya? Dia sendiri adalah seorang ahli tenaga Yang, eh, siapa kira sekarang dia menghadapi seorang wanita yang lebih besar tenaganya. la berlaku hati-hati dan mengerahkan seluruh ilmu kepandaiannya urrtuk mendesak.

Continue reading


Raja Pedang (Jilid ke-36)

Bun Lim Kwi menghela napas panjang, nampak berduka sekali. “Aku sendiri tidak tahu, tapi yang jelas bukan dia…..”

“Dia siapakah?”

Kembali pemuda Kun-lun-pai itu menarik napas panjang. “Saudara Beng San yang budiman, aku benar-benar berterima kasih kepadamu dan aku tidak akan me-nyimpan rahasia terhadapmu. Setelah aku dan suhu pergi dari Hoa-san, suhu terus pulang ke Kun-lun dan aku….. hemmm, terus terang saja aku ingin mencari bekas susiokku Kwee Sin. Tiba-tiba muncul nona baju hijau yang menyerangku di puncak Hoa-san itu. Dia menuduh mendiang ayahku dan pamanku membunuh ayahnya dan berkeras hendak membalas kepadaku. Ahhh…..” Lim Kwi menghela napas, kelihatan berduka sekali. “Aku tidak ingin bermusuhan dengannya, aku sudah mengalah….. dia mendesak terus, aku lari, dia mengejar. Terpaksa aku mempertahankan diri. Setelah itu ada orang menyerangku dari belakang secara menggelap, entah siapa karena aku roboh tak ingat lagi. Tahu-tahu sudah berada di sini.”

Continue reading


Raja Pedang (Jilid ke-35)

Pada saat itu Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa muncul. Para tamu yang melihat, Lian Bu Tojin mengundurkan diri, lalu berpamit dan di puncak Hoa-san sudah menjadi sunyi.

“Bagaimana, Suhu?” tanya Kwa Tin Siong yang tadi sudah mendengar tentang peristiwa yang terjadi atas drin Bwi Lim Kwi.

“Kita ditipu Giam Kin,” jawab kakek itu. “Dua ekor ular itu bukan ular obat setelah dipergunakan racunnya mudah membuat dia makin parah.”

“Bagaimana baiknya sekarang? Totiang, Kwa lo-enghiong, tolonglah beri petunjuk kepadaku,” kata Beng San, nampak gelisah sekali. Kwa Hong menjadi terharu melihat sikap Beng San, akan tetapi gadis ini diam saja hanya menahan air matanya yang hendak keluar dari matanya.

“Tidak ada obat di dunia ini dapat menolongnya….. kecuali Thian turun tangan sendiri…..” kata Lian Bu Tojin.

“Hanya ada satu jalan…..” tiba-tiba Kwa Tin Siong berkata. Semua mata ditujukan kepada jago Hoa-san-pai ini, tapi Kwa Tin Siong melihat dengan pandang mata jauh ke arah kaki gunung di sebelah utara.

Continue reading


Raja Pedang (Jilid ke-34)

Apa yang menyebabkan Beng San pergi dari Hoa-san-pai secara diam-diam, serentak tanpa pamit? Banyak hal yang menyebabkan dia terburu-buru itu. Ternyata selama di tempat pesta tadi dia telah mengalami hal-hal yang mengguncangkan hati dan membingungkan pikirannya. Mula-mula pertemuannya dengan teman Souw Kian Bi, pemuda tinggi tegap yang she Tan itu cukup hebat mengguncang perasaannya karena dia menduga keras bahwa orang itu adalah kakak kandungnya, Tan Beng Kui. Akan tetapi kenapa kalau benar pemuda itu kakak kandungnya, tidak mengenal dia dan malah tadi melihatnya lalu membuang ludah dengan amat menyolok dan menghina? Hal ini perlu penyelidikannya.
Hal ke dua adalah Thio Eng dan Bun Lim Kwi. Dia sudah berjanji kepada mendiang Bun Si Teng untuk mengamat-amati pemuda itu, sekarang dia dapat menduga bahwa Thio Eng tentu akan berusaha membunuh Lim Kwi. la tidak boleh membiarkan Lim Kwi terbunuh tanpa berbuat sesuatu. Apalagi kalau yang hendak membunuh itu Thio Eng, gadis yang….. ah yang dia suka dan yang dia kasihani nasibnya. Soal ini pun memerlukan dia turun tangan dan mencarikan pemecahannya.

Continue reading


Raja Pedang (Jilid ke-33)

Orang ke dua yang berseru heran tertahan adalah pemuda teman Souw Kian Bi. Pemuda ini sampai bangkit dari bangkunya ketika memandang Beng San. Tentu saja perbuatan dua orang ini tidak menyolok benar karena pada saat itu, semua tamu juga memperhatikan Beng, San, apalagi setelah pemuda ini berteriak-teriak.

“Ji-wi Locianpwe (kedua orang tua gagah), harap tahan dulu! Saya mempunyai dua benda untuk diberikan kepada Ji-wi (tuan berdua)!” Beng San yang masih hendak menyembunyikan kepandaiannya, sengaja lari tersaruk-saruk dan terengah-engah.

Pek Gan Siansu memandang heran, dan Lian Bu Tojin tersenyum, berkata halus.

“Beng San, kau hendak memberi apakah kepada kami?”

Continue reading


Raja Pedang (Jilid ke-32)

Pada saat itu, ketegangan yang ditimbulkan oleh tokoh Bu-eng-pai dan Bu-tong-pai ini seketika lenyap dengan masuknya seorang gadis berpakaian serba hijau yang cantik dan gagah. Dara ini masih remaja sekali, memakai pakaian serba hijau yang sederhana potongannya tapi ringkas, gagang pedang tersembul di balik punggungnya. la memasuki ruangan itu seorang diri saja dan inilah yang menarik perhatian orang, terutama sekali perhatian para tamu rnuda. Tanpa menoleh ke kanan kiri gadis itu segera menghampiri Lian Bu Tojin dan memberi hormat dengan sopan.

“Totiang yang mulia, teecu mewakili suhu Swi Lek Hosiang mengucapkan selamat kepada Hoa-san-pai dan menyampaikan tanda mata ini.” Ternyata gadis itu membawa barang sumbangan berupa sebuah mainan burung dara terbuat daripada perak yang diukir indah sekali, bermata kumala.

Continue reading


Raja Pedang (Jilid ke-31)

Sambil tertawa Beng San menenma kelinci itu. Tiba-tiba terdengar auman keras sekali sampai bumi yang mereka Pijak seakan-akan tergetar, daun-daun Pohon bergoyang-goyang dan yang kering rontok berhamburan. Kwa Hong menjadl pucat dan mencabut pedangnya.

“Beng San….. cepat, kaupanjat pohon ini'” la mendorong-dorong tubuh Beng San arah batang pohon, dia sendri menjaga keselamatan Beng San dengan pedang di tangan.

“Kenapa aku mesti memanjat pohon?”

“Rewel kau! Ada harimau….. biar aku melawannya, tetapi kau….. kau harus memanjat pohon. Susah kalau melawan dan sekaligus melindungimu…..” Gadis itu berbisik, matanya tetap memandang ke arah gerombolan alang-alang yang sudah mulai bergerak-gerak.

Beng San tersenyum geli dan juga kagum disertai terima kasih. Betapapun galaknya, gadis ini ternyata berhati baik terhadapnya. Seorang diri hendak menghadapi harimau, sedangkan dia disuruh menyelamatkan diri di atas pohon! Gadis mana segagah ini? Karena Kwa Hong sedang mencurahkan perhatiannya ke arah gerombolan alang-alang, gadis ini tidak melihat betapa dengan amat mudah-nya, sambil membawa kelinci itu, Beng San sebentar saja sudah duduk di atas dahan pohon yang tinggi.

Continue reading


Raja Pedang (Jilid ke-30)

“Bagus…… bagus….. Saudara Thio Ki dan Kui Lok, lekaslah kalian bertari pedang biarkan aku menontonnya, tentu indah dilihat.” Beng San muncul dari balik sebatang- pohon sambil bertepuk tangan dan tertawa-tawa.

Kui Lok dan Thio Ki yang tadinya sudah tegang dan siap untuk saling serang, menjadi kaget dan menengok. Mereka melihat seorang pemuda tampan berpakaian sutera biru seperti seorang pemuda pelajar. Tentu saja mereka tidak mengenal Beng San yang dulu mereka kenal sebagai seorang anak yang berpakaian seperti jembel. Namun karena mereka ini memang jago-jago muda Hoa-san-pai yang berwatak angkuh dan merasa diri sendiri paling gagah dan paling lihai, mereka segera merasa tak senang dengan datangnya seorang asing ini.

“Kau siapa? Mau apa lancang masuk ke sini?” tanya Thio Ki mengerutkan keningnya. juga Kui Lok memandang tajam dengan mata dipelototkan untuk memperlihatkan ketidaksenangan hatinya.

Continue reading


Raja Pedang (Jilid ke-29)

“Lok-ko,” kata Kwa Hong sambil tersenyum semanis-manisnya, “aku tidak suka kalau kau setiap kali bertemu selalu menyatakan rasa cinta kasihmu. Aku jadi bosan mendengarnya. Sudah kukatakan kepadamu, sekarang belum tiba saatnya bagiku untuk memikirkan soal itu. Kau bersabarlah karena aku belum dapat memastikan siapa yang akan kupilih kelak. Kau sendiri tahu, ayahku bermaksud menjodohkan aku dengan Ki-ko, itu pun kutolak mentah-mentah. Aku akan memilih sendiri, tapi kelak!”

“Baiklah, Moi-moi (Adinda), baiklah. Aku takkan mengulang lagi, tapi perbolehkan aku memujamu….. alangkah cantik jelitanya engkau, Hong-moi. Kupandang dari bawah, wajahmu mengalahkan kecemerlangan matahari di waktu pagi atau bulan di waktu senja. Aku sudah akan merasa hidup ini bahagia kalau dapat memandangi mukamu yang indah, mendengar suaramu yang merdu bagaikan…..”

Continue reading


Raja Pedang (Jilid ke-28)

“Kau melihat sendiri bagaimana? Laki-laki atau perempuan?” Ia cemberut.

Dara baju hijau itu tertawa lagi, sekarang agak lebar sehingga dari atas terlihat dalam mulutnya yang merah dan sepasang lesung pipit di kedua pipinya. Manis benar!

“Masa seorang laki-laki takut meloncat dari tempat itu ke sini? Seorang perempuan pun akan berani. Kau tak patut menjadi laki-laki atau perempuan, kiraku kau banci.”

Panas perut Beng San rasanya. Ia mengukur dengan pandang matanya dan akhirnya harus mengakui bahwa permainan sandiwaranya memang agak keterlaluan. Setiap orang laki-laki yang tidak mengerti ilmu silat, asal dia tidak terlalu penakut, tentu akan dapat meloncat ke perahu itu.

“Tentu saja aku laki-laki sejati!” katanya mendongkol. “Tidak seperti kau, perempuan tukang merengek, belum bisa mendapatkan yang dicari-cari, sudah mulai mengeluh panjang pendek. Tentu saja aku berani meloncat ke situ!”

Dara itu seketika hilang senyumnya, kembali memandang tajam dan berkata, suaranya terdengar ganjil, “Kalau begitu, kau loncatlah!”

Continue reading


Raja Pedang (Jilid ke-27)

Beng San berdebar jantungnya. Inilah pengemis tua yang tadi memberi surat kepadanya. Tanpa ragu-ragu lagi mendekati, “Lopek, di mana Tan-twako?” ia bertanya langsung.

“Kakek pengemis” itu memberi isyarat dengan tangan supaya Beng San mengikutinya dan….. ternyata kakek ini sama sekali tidak bongkok, malah kini dapat berjalan cepat dan tangkas. Kakek itu tidak membawanya ke tempat di mana perahu-perahu berkumpul, melainkan sebaliknya, menuju ke sebuah hutan kecil di tepi sungai! Dan di tengah-tengah hutan itulah Tan Hok dan belasan orang temannya berkelompok, duduk bercakap-cakap dengan suara bisik-bisik. Mereka bersikap amat hati-hati, bahkan api unggun saja mereka tidak berani bikin, padahal malam itu dingin sekali dan di hutan itu banyak nyamuknya. Hanya sebuah lampu yang dikerodong kertas merah dinyalakan orang, cukup menerangi wajah mereka yang duduk di dekat lampu. Di antara orang-orang itu, Beng San melihat wajah Tan Hok. Masih seperti dulu, delapan tahun yang lalu. Masih tampan, gagah, dan tinggi besar seperti raksasa. Tubuhnya yang tinggi besar itu menjulang satu kaki lebih di atas kepala teman-temannya.

“Tan-twako…..!” Beng San segera maju memberi hormat.

Continue reading


Raja Pedang (Jilid ke-26)

Pada suatu pagi yarig cerah, di sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Cin-lin-san, di depan sebuah gua yang dinamai Gua Ular, nampak seorang pemuda tengah berlutut di depan seorang kakek yang sudah tua sekali. Kalau baru melihat saja orang tentu mengira bahwa kakek ini bermata lebar, akan tetapi setelah lama memandang dan melihat bahwa mata kakek itu melotot tak pernah berkedip, akan tahulah orang bahwa dia adalah seorang kakek yang buta matanya. Rambutnya yang putih panjang riap-riapan di kedua pundaknya, muka dan tubuhnya hanya tinggal kulit membungkus tulang belaka. Adapun pemuda yang berlutut itu nampaknya terharu sekali.

“Mohon Locianpwe sudi memberi maaf sebesarnya bahwa teecu telah meninggalkan Locianpwe bertahun-tahun. Ternyata Locianpwe masih berada di sini dan dalam keadaan menderita,” terdengar pemuda itu berkata sambil memandang tubuh yang kurus kering itu dengan perasaan kasihan.

Kakek itu bergoyang-goyang tubuhnya, seperti jerami kering tertiup angin. Mulutnya bergerak-gerak beberapa lama, baru terdengar dia berkata perlahan.

Continue reading


Raja Pedang (Jilid ke-25)

“Beng San, anakku..mari sini, Nak… biarkan ibumu memelukmu…..”

Beng San bergidik, akan tetapi dia memaksa diri melangkah maju dan membiarkan ibunya merangkul dan mendekapnya. Ketika dia merasa betapa air mata yang hangat menjatuhi pipinya, hatinya menjadi terharu dan tak terasa pula dia pun menangis terisak-isak.

“Ayah….. Ibu…..??! Kenapa….. kenapa..” bibirnya berbisik, hatinya penuh keharuan ketika dia dipeluk ibunya dan kepalanya dibelai kedua tangan ayahnya yang sudah mendekat pula.

“Kenapa? Apa yang hendak kau tanyakan, Beng San…..?” Ibunya bertanya.

Sebetulnya hati Beng San berteriak-teriak kecewa, kenapa ayahnya tidak segagah ayah Kwa Hong dan kenapa ibunya begini….. pesolek, sama sekali tidak kelihatan agung seperti yang dia gambar-gambarkan semalam. Akan tetapi mulutnya tentu saja tidak berani meneriakkan suara hatinya ini dan dia hanya berbisik.

“Kenapa Ayah dan Ibu membiarkan anak terlunta-lunta sampai sembilan tahun?”

Continue reading


Raja Pedang (Jilid ke-24)

Setelah berendam kurang lebih satu jam, barulah Bi Goat berani muncul kembali ke permukaan air. la lalu memberl isyarat kepada Beng San untuk meloncat keluar dari air. Segera mereka berdiri di tepi sungai, basah kuyup dan saling berpandangan. Tiba-tiba gadis cilik itu tersenyum lega. Bukan main manisnya setelah tersenyum. Hati Beng San serasa diremas-remas. Ingin dia memeluk Bi Goat, ingin dia memondongnya, menggendongnya seperti anak kecil. Gadis cilik gagu yang sudah menolong nyawa-nya, yang biarpun gagu tapi luar biasa cerdiknya dan sekarang tersenyum-senyum begitu manisnya. Tiba-tiba dia melihat Bi Goat menggigil kedinginan.

“Kasihan kau, Bi Goat. Kau dingin? Biar kubuatkan api unggun.”

Bi Goat segera memegang lengannya dan mengguncang-guncangnya. Alisnya berkerut dan kepalanya digeleng-gelengkan. Beng San teringat dan dia merasa malu sendiri. Ah, bagaimana dia sampai kalah oleh anak perempuan yang jauh lebih muda ini dan gagu pula lagi? Kenapa dia begini kurang hati-hati? Kalau dia membuat api unggun, sama saja seperti memberitahukan tempatnya kepada Song-bun-kwi. Biarpun kakek itu sudah jauh, ada tanda sedikit saja pasti cukup untuk memanggil kembali kakek yang lihai sekali itu.

Continue reading


Raja Pedang (Jilid ke-23)

Setelah berulang kali menarik napas panjang, baru Kwee Sin bisa menjawab tanpa mengangkat mukanya, “Memang betul aku berada di Telaga Pok-yang pada beberapa bulan yang lalu…..”

“Berpelesir bersama seorang perempuan muda cantik anggauta Pek-lian-pai desak Kwa Tin Siong.

“Bersama seorang teman perempuan…,.”

“Siapa dia? Hayo katakan terus terang, bukankah dia yang kauajak membunuh ayah Sumoi?” Kwa Tin Siong mendesak lagi, penuh amarah. Kwee Sin diam saja.

“Kwee-sute, kehapa kau diam saja. Siapakah perempuan itu?” Bun Si Teng bertanya, suaranya mengandung kekecewaan.

“Aku tidak bisa bilang dia itu siapa, sudah kukatakan temanku, cukuplah. Akan tetapi, dia dan aku tidak bersekongkol membunuh siapa pun juga.”

Continue reading


Raja Pedang (Jilid ke-22)

Souw Kian Bi membanting-banting kaki. “Apa kau bilang?” Cepat tubuhnya berkelebat dan lari memburu ke tempat ditahannya dua orang anak itu. Yang lain, termasuk orang-orang Hoa-san-pai, ikut pula mengejar ke belakang.

Ke manakah perginya Kwa Hong dan Thio Bwee? Betulkah dua orang anak perempuan yang sudah ditotok tak berdaya dan dikurung dalam kamar tahanan itu dapat melarikan diri? Memang kenyataannya betul demikian. Akan tetapi tentu saja ada orang menolongnya. Penolong ini bukan lain adalah Beng San yang diam-diam terus mengikuti larinya Souw Kian Bi sampai memasuki perkemahan pasukan Mongol. Menggunakan, kecepatan dan keringanan tubuhnya, dilindungi pula oleh gelapnya malam, Beng San berhasil membobol pagar yang mengelilingi perkemahan tanpa dilihat oleh para penjaga. la berhasil pula mendengarkan pesan Souw Kian Bi kepada para penjaga. Mendengar bahwa bagian belakang perkemahan itu tidak terjaga kuat, dia mendapat pikiran untuk menolong dua orang nona kecil itu melarikan diri melalui belakang perkemahan.

Continue reading


Raja Pedang (Jilid ke-21)

Lian Bu Tojin mengangguk-angguk. la mengerti akan maksud Lo-tong Souw Lee. Agaknya anak ini dikasihi kakek itu dan karena anak ini berkenalan dengan Souw Kian Lee, sangat boleh jadi orang-orang kang-ouw akan menculiknya dan memaksanya menunjukkan di mana tempat sembunyi Lo-tong Souw Lee.

“Beng San, sudah lamakah kau kenal dengan penulis surat ini?” tanyanya sambil menyimpan surat itu ke dalam saku jubahnya.

“Belum lama, Totiang, baru beberapa bulan,” jawab Beng San sejujurnya.

“Jadi kau tidak tahu tempatnya, ya? Bagus, kau tidak tahu tempatnya,” kata ketua Hoa-san-pai ini, membuat Beng San terheran-heran. Akan tetapi anak yang cerdik ini segera maklum akan maksud Lian Bu Tojin. Tentu kakek ini memperingatkan kepadanya agar supaya dia tidak mengaku tahu tempat sembunyi Lo-tong Souw Lee kepada siapapun juga. Maka dia mengangguk dan menundukkan mukanya.

“Apa kau suka belajar silat? Kulihat kau berbakat untuk belajar ilmu silat. Kau boleh belajar dari para tosu murid-murid pinto.”

Continue reading